Hati-hati Jokowi, Kegagalan di Depan Mata
Tidak ada yang meminta Jokowi (dan Ahok) untuk jadi
Bandung Bondowoso, yang sanggup membangun 99 patung dalam semalam. Tapi
bagaimana bila ayam sudah hampir berkokok, jangankan 99, satu patungpun
belum jelas wujudnya…?
Berikut ini adalah beberapa patung yang masih berbentuk lempung :
Kampung Deret
Proyek yang selalu ditenteng Jokowi pada masa kampanye dulu adalah
Kampung Deret atau Kampung Susun di bantaran kali. Pilot project di
bantaran kali Ciliwung itu akhirnya mengalami naas : tidak jadi
dibangun karena menabrak Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2008
tentang Pengelolaan Sumber Daya Air.
Kartu Jakarta Sehat (KJS)
KJS, seperti yang dikabarkan memiliki kelebihan berupa rekam medis di
chip kartu, persyaratan lebih mudah/tidak perlu surat miskin untuk
memperolehnya serta menghapus strata kelas ruang perawatan dengan
otomatis naik ke kelas lebih tinggi jika tidak tersedia tempat di kelas
lebih rendah. Semua keunggulan itu ternyata tidak didukung oleh kesiapan
dana, prasarana, SDM dan perubahan mentalitas pekerja kesehatan.
Lonjakan jumlah pasien sekitar 50-100% sudah terasa sejak Nov 12 lalu,
namun masih dipandang sebagai kesuksesan KJS membangkitkan minat berobat
masyarakat dan tersedianya pelayanan kesehatan tanpa pandang bulu. KJS
bahkan tidak dibutuhkan, banyak Puskesmas yang karena takut dianggap
tidak mendukung program Gubernur baru, atau mungkin takut dimarahi Ahok,
menerima pasien cukup dengan KTP. Akibat promosi kencang, euphoria
masyarakat tak terbendung. Yang datang bukan hanya yang benar-benar
sakit dan tidak mampu, tapi juga yang sakit tidak benar-benar serius dan
tidak benar-benar tidak mampu; sampai Puskesmas dan Rumah Sakit
kewalahan.
Puskesmas sampai kelebihan beban dan mendorong pasien ke RS, RS
berteriak minta Puskesmas jangan asal rujuk. Belum lagi lonjakan tagihan
yang akibat masalah internal berupa macam-macam koreksi di administrasi
Pemda, sehingga beberapa RS mengalami kesulitan cashflow. Puncaknya
adalah peristiwa meninggalnya adik Dera, setelah ditolak 10 Rumah Sakit
dengan alasan ketiadaan NICU dan tempat perawatan.
Ganjil-Genap dan Electronic Road Pricing (ERP)
Penanggulangan kemacetan dengan sistem Ganjil-Genap yang menjadi isu
utama pada Dec 2012 lalu, akhirnya tidak jalan. Protes berdatangan dari
mana-mana, termasuk dari Neta S. Pane/IPW, karena dianggap titipan ATPM
dan merugikan pengguna kendaraan.
Setelah Ganjil-genap batal, ERP diangkat. Apabila tahun lalu Ahok bilang
ERP rumit, sekarang ini menyimak pembicaraan Ahok, seolah-olah
pelaksanaan ERP itu gampang banget. Tinggal ditenderkan, pembayaran bisa
potong rekening, diintegrasikan dengan pembayaran tilang dan
perpanjangan STNK. Kalau mau tahu cara kerja sistem ERP itu, Ahok bilang
tak usah studi banding, tinggal tonton saja di Youtube. Apa benar
semudah itu ?
Tampaknya ERP ini – maaf – akan seperti kentut saja. Heboh sebentar
setelah itu hilang dibawa angin. Banyak sekali masalah ERP yang harus
dijawab : bagaimana memastikan setiap unit mobil yang masuk
Jakarta/kawasan ERP memasang dan mengaktifkan OBU (On Board Unit),
apabila Jakarta ini banyak titik masuknya, bukan pulau dengan akses
masuk terkontrol seperti Singapura. Bagaimana billing dan collection,
dan bagaimana enforcementnya…? Solusi sambil-lalu yang dijawab Ahok :
diskon 50% Biaya Balik Nama untuk pemasang OBU, auto debet ke rekening,
jelas bukan jawaban. Bagaimana dengan BPKB yang sudah atas nama yang
benar ? Berapa banyak yang bersedia untuk auto debet rekening ? Di
Jakarta ini, banyak pemilik dan pengguna kendaraan tidak sama dengan
nama di BPKB, siapa yang harus ditagih…?
Monorail
Seperti diketahui, konsorsium pemodal baru Ortus Group sudah masuk ke PT
Jakarta Monorail, tanda-tanda proyek ini akan diaktifkan lagi. Sampai
saat ini, Jokowi berkeras bahwa biaya tiket monorail harus sekitar Rp
8.000 dan Pemprov tidak akan subsidi, sementara kabarnya hasil
perhitungan investor ada di kisaran Rp 40.000. Selisih bukan sedikit,
tapi 5x lipat. Jokowi ibarat menawar dengan sistem Mangga Dua di Sogo
Dept Store, yang tidak akan ada titik temunya.
Rusun Marunda
Isu kosongnya rusun-rusun di Jakarta termasuk di Marunda yang acapkali
disebut ‘berhantu’ sudah lama diungkit oleh DPRD sejak tahun 2011.
Awalnya adem-adem saja dan tidak prioritas, tapi begitu Ahok mengalami
masalah saat menempatkan korban banjir Pluit di rusun Marunda,
tiba-tiba sang rusun jadi beken abis. Heboh sekali, sorotan media massa
nyaris setiap hari. Ada kepala rusun langsung dipecat, ada koboi
belitung dan ada pintu yang didobrak..pyar… Setelah dihadirkan segala
macam gratisan mulai dari angkutan, kasur, perabot, TV, kulkas sampai
pijit; kabarnya yang antri membludak. Mirip barisan di depan kasir
supermarket kalau lagi ada cuci gudang.
Apabila anda menyempatkan diri ke rusun Marunda, akan menjumpai 11 tower
tersebut masih banyak sekali yang kosong, menandakan ada masalah
substansial yang masih harus dibenahi. Bahkan menurut Kompas, ada
penghuni rusun yang sudah kabur membawa TV dan kulkas. Pelanggaran
jual-beli rusun yang disebut Ahok juga kemungkinan adalah proses/makelar
subkontrak, karena mencari penyewa serius yang komitmen tinggal
permanen dan membayar tidak mudah. Masa sih ada yang mau membeli rusun
yang sertifikatnya milik Pemda ?
Giant Sea Wall (GSW)
Baik Jokowi maupun Ahok sudah mengakui bahwa ini adalah proyek Foke,
maka basisnya adalah studi yang dilakukan Jakarta Coastal Defense
Strategy (JCDS). Dalam rilis JCDS, ada 3 opsi GSW, dan tampaknya yang
dipromosikan Ahok adalah opsi ke 3, yang di dalamnya termasuk reklamasi
3.000 hektar. Karena biaya yang tercantum di JCDS sebesar US$ 21Milliar
(setara Rp. 200 triliun ) digelembungkan Ahok menjadi Rp. 385 triliun,
menunjukkan ambisi Ahok melebihi Foke. Ambisi itu juga ditunjukkan
melalui keinginan untuk memajukan proyek ke tahun 2013 dari 2016 yang
direncanakan. Padahal opsi 3, menurut JCDS, perencanaan dan persiapannya
begitu kompleks, sehingga realisasinya antara 2020-2030.
Dalam rencana Foke, GSW dibiayai melalui pinjaman luar negeri, hibah,
partisipasi masyarakat melalui obligasi, APBD dan dunia usaha. Sementara
Ahok ingin 100% GSW itu dibiayai oleh investor, yang disebutnya
‘cukong’; dengan imbalan izin reklamasi di Pantura Jakarta berupa 17
pulau. Jika Foke masih punya etiket, malu menyebut reklamasi, urat malu
Ahok tampaknya sudah putus dengan tanpa ragu menyebut reklamasi sebagai
penyelamat.
Sekilas Ahok terlihat pintar, warga DKI bisa dapat GSW gratis. Tapi
apabila disimak lebih dalam, sebenarnya opsi Foke lebih aman sebab
melibatkan pihak luar negeri dan masyarakat, yang menuntut transparansi,
prospektus setebal bantal dan AMDAL yang jelas. Sementara Ahok
menyerahkan nasib pantura DKI ke tangan cukong. Apakah rakyat dan para
pengamat akan mendapatkan penjelasan maupun dapat mengawal reklamasi
dan efeknya terhadap hajat-hidup mereka ? Wallahualam. Paling juga terus
berjalan tanpa kendali seperti reklamasi yang sekarang ini, yang
disebut Departemen Lingkungan Hidup merupakan penyebab banjir di DKI dan
amblesnya tanah di Pantura.
Jika dipikirkan secara logika, akan didapat dari mana tanah dan pasir
untuk urukan 17 pulau itu ? Apabila disebut dari galian waduk dan sungai
di Jakarta, apa mungkin ? Coba lihat peta DKI di Perda RTRW 2010-2030,
berapa besar waduk, sungai, dan berapa besar rencana reklamasi…? Apakah
sebagian pulau Pulau Belitung mau dipindahkan untuk membangun 3.000
hektar plus ini ? Atau, apakah ini proyek heboh-hebohan yang hanya akan
berakhir senyap seperti yang lainnya …?
Ahok : Achilles Heel Jokowi
Setiap kali Ahok buka mulut di depan wartawan, nyaris tiap kali itu pula
menyinggung pihak lain. Memang di dunia ini ada orang yang merasa perlu
mengangkat diri dengan menjatuhkan/mempermalukan orang lain. Dulu kita
tak pernah dengar suara Wagub DKI, sekarang Wagub DKI sibuk tebar pesona
menyaingi bossnya.
Belum lama dilantik, dalam wawancara Gatra Oktober 2011 lalu, Ahok
mengatakan Pemprov (Ahok) harus jadi tuan di atas cukong. Entah apa yang
dipikirkan para cukong saat mendengarnya. Kalimat yang gagah sekali,
baik untuk pencitraan namun tak ada gunanya di hidup nyata. Sebab cukong
yang dimaksud, sudah jago berbisnis saat Ahok masih bercelana kodok.
Boro-boro Ahok mencabut izin cukong apabila menolak bangun GSW,
ternyata Ahok harus jual izin reklamasi 17 pulau untuk imbalan GSW
gratis. Belum apa-apa Ahok harus pasang badan bagi cukong untuk urusan
AMDAL. Tragis, Ahok akhirnya hanya jadi salesman cukong.
Sikap Ahok menantang debat soal AMDAL, apabila dilihat dari sejarah
panjang perseteruan Kementerian Lingkungan Hidup dan pengusaha soal
reklamasi, menyakitkan hati bagi Walhi dan para aktivis lingkungan.
PDI-P pasti ingat, Keputusan Menteri LH itu, dibuat pada zaman ibu
Megawati. Nabil Makarim adalah salah satu menteri kesayangannya.
Apabila Jokowi selalu berusaha membangun hubungan baik dan santun
terhadap berbagai pihak, semua itu dengan mudah dibuyarkan oleh Ahok.
Selain doyan memarahi anak buahnya, seperti mengancam memecat Lurah
apabila ada warga meninggal saat banjir, gara-gara meninggalnya seorang
kakek yang memang sudah sakit saat banjir di Kampung Pulo. Menghadapi
Kepsek yang mengingatkan bahwa pemotongan anggaran bisa menurunkan mutu
siswa, malah disergah, supaya siswa super wahid – ente butuh berapa
triliun…?
Ahok belum lama ini, tanggal 17 Feb di Tempo.co, sudah mulai lancang
menyebut atasannya ‘kurang galak’ sambil mengangkat diri dan nyalinya
yang berani memecat siapa saja, kapan saja, dan bahkan siap diPTUNkan.
http://www.tempo.co/read/news/2013/02/17/083461907/Ahok-Nilai-Jokowi-Kurang-Galak
Pada saat banjir Pluit, ketika ditanya wartawan dimana keberadaannya
sejak 3 hari yang lalu, dengan seenaknya Ahok nyeletuk soal ‘pulang ke
Belitung’. Tidak puas dengan vendor pengelolaan sampah, malah keluarkan
ide asbun seperti menggaji 2000 pemulung Rp 2 juta per orang untuk
mengangkat sampah Jakarta. Karena asal bunyi, ya kini tak ada kabarnya
lagi.
Lebih dari sekali Ahok menyinggung kepolisian. Soal plat mobil,
misalnya, Ahok menginsinuasikan mengenai penjualan plat mobil DKI 2 ke
swasta, padahal menurut kabar plat tersebut sudah sejak lama dipegang
Foke. Untuk urusan ERP, yang jelas tidak akan berhasil tanpa kerja-sama
dari Polda Metro Jaya; Ahok mengeluarkan lecehan ‘prit jigo prit gocap’.
Tingkah laku negatif Kepolisian harusnya yang menegur adalah atasannya.
Ahok adalah kolega, pihak yang memerlukan kerja-sama. Apa jaminannya
cara komunikasi tersebut tidak membuat Ahok justru dialienasi sementara
banyak proyek Pemprov DKI yang perlu didukung kepolisian…?
Untuk urusan ERP itu pula, Ahok sempat-sempatnya menyentil soal ‘studi
banding’ – apakah ini yang dituju adalah DPRD…? Ahok bahkan
menggampangkan bahwa sistem tersebut cukup dilihat di Youtube !
Tanggal 19 Feb kemarin, saat sedang berbicara mengenai KJS di RS Husada,
Ahok bahkan menginsinuasikan ‘perut, otak dan dompet’ lebih penting
daripada ahlak. Meskipun ahlak bukan cuma soal agama, tapi juga
lingkungan, upbringing; Ahok nyasar kemana-mana soal semua pejabat yang
disebutnya munafik soal pelaporan harta kekayaan, soal agama dan politik
bahkan tak masalah dianggap kafir no. 1. Juga menegaskan negara ini tak
bisa dipimpin baik-baik, harus diajak berantem.
http://news.detik.com/read/2013/02/19/171037/2174270/10/di-depan-para-dokter-ahok-luapkan-kekesalan-soal-pejabat-munafik
http://news.liputan6.com/read/516624/kesampingkan-akhlak-pejabat-ahok-silakan-cap-saya-kafir-nomor-1
Peristiwa terakhir ini menunjukkan secara kasat mata beda antara Jokowi
dan Ahok. Apabila Jokowi adalah negosiator, fasilitator dan mengutamakan
komunikasi; semua itu rupanya dianggap ‘kurang galak’ oleh Ahok yang
siap berantem dengan siapa saja. Membangun kepercayaan itu tidak mudah,
Jokowi bekerja keras tidak sehari-dua, tapi panas setahun usaha Jokowi
bisa dihapus hujan sehari komentar tak sedap dari Ahok.
Duh, capenya jadi Jokowi.
Masih Banyak Waktu
Alangkah sedihnya apabila pemerintahan Jokowi berlalu tanpa greget.
Proyek-proyek pada GARING, nyaring bunyinya tapi tak ada yang berjalan
baik. Karena kurang perencanaan, kurang koordinasi, kurang dukungan.
Over-expose. Sedikit-sedikit diblow-up ke wartawan; padahal bicara pada
regulator, pengambil-keputusan dan pihak terkait juga belum. Peraturan
yang ada tidak dicek dulu apakah benturan atau tidak. Makin banyak
proyek diheboh-hebohkan, lalu tak terwujud, akan makin banyak muncul
kata GAGAL. Ini gagal itu gagal. Jokowi juga bisa gagal nyapres 2019.
Dua pemimpin asyik bicara, pasti akhirnya banyak keselip lidah. Nanti
dibuat sensasi oleh media, timbul blunder yang bikin bingung rakyat. Dua
pimpinan seperti dua kutub : yang satu hendak merangkul, yang satu
sibuk mengalienasi. Yang satu sibuk nyari teman, yang satu nyari musuh.
Yang satu mencari titik temu, yang satu ngajak berantem. Yang satu
santun, yang satu menyakitkan dalam bertutur. Don’t be cruel. Pemimpin
santun bukan berarti lemah, sopan bukan berarti tak tegas. Be kind.
Mumpung masih ada 4 tahun 8 bulan, sebaiknya Jokowi segera berbenah
diri. Jokowi perlu mengurangi 2 hal : 1. Kurangi blusukan, dan 2.
Kurangi bicara pada wartawan. Proyek-proyek dimatangkan dulu, kalau
perlu sosialisasi baru bicara pada wartawan.
Jokowi juga perlu menambah 2 hal : 1. Menambah waktu di kantor untuk
memimpin rapat dan membaca laporan, dan 2. Menambah pengawasan terhadap
Ahok, beri pendidikan budi pekerti. Ahok disuruh membaca kitab Raja-raja
China Zhu Yuan-Zhang atau Liu Bang : berantem saat perang, memimpin
dalam damai. Kolega dan anak buah bukan musuh, tak perlu bicara
seolah-olah tiap orang malas, maling, atau dua-duanya. Tak ada yang bisa
sukses dengan menciptakan musuh dimana-mana. Heran ya, Jokowi lebih
mengerti ‘guanxi’ ketimbang Ahok yang Tionghoa !
Sebaiknya satu orang saja yang bicara : Jokowi. Yang lain, hanya
pembantu Jokowi, jadi harap tahu tempatnya. Jujur, DKI masih perlu
pemimpin seperti Jokowi yang humble, jujur dan kerja untuk rakyat.
Seperti Jabar butuh Rieke & Teten. Semoga PATEN menang di Jabar,
sehingga koordinasi DKI-Jabar untuk mengatasi banjir, transportasi dan
hal-hal lainnya semakin lancar.
GTS 69
Jakarta, 21 Februari 2013Sumber : http://politik.kompasiana.com
Category:
0 komentar