Featured Post 2
Dia berhasil jadi Ikon orang Betawi. Ada harga mahal yang harus dibayar: rumah tangganya berantakan.
SEBUAH pekarangan rumah di salah satu kampung di Kemayoran, Jakarta.
Seorang bocah enam tahun asyik bermain pada suatu siang tahun 1940-an.
Kulitnya legam, berbadan cebol dan tambun. Ia hanya bercelana kolor.
Tiba-tiba suara keluar dari mulut seorang kakek yang berada di
dekatnya. Si kakek minta tolong pada bocah itu, yang merupakan cucunya.
“Ben, beliin engkong tape,” kata si kakek.
Si bocah langsung menghampiri kakeknya, mengambil uang receh dan
menuju ke tempat tukang tape biasa mangkal. “Pekerjaan” itu sudah
menjadi kebiasaan bagi si bocah.
Tak lama kemudian, dia datang. Tapi kali ini prilakunya agak aneh.
“Kong, gak ada tapenya, Kong,” kata bocah cebol itu sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Lu goblok lu, masak gak ada. Orang jualan bererot (berderet) di situ,” jawab si kakek sembari sewot.
“Lagi gak dagang kali, Kong.”
“Enggak, tiap hari pada dagang di situ.”
Si kakek lalu memperhatikan cucunya dengan seksama. Matanya berhenti
pada tali celana kolor bocah. Si kakek langsung bertanya. “Itu apa yang lu gantung?”
“Tape.”
“Astagfirullah, lu kebangetan, makanan digantungin di
celana.” Si kakek gregetan. Tapi Haji Ung, nama kakek itu, akhirnya
cekikikan karena tak tahan melihat ulah jail cucunya itu.
Berpuluh-puluh tahun kemudian, si cucu masih tetap jail. Di suatu
pagi di studio radio miliknya, dia menelepon seorang teman di Bandung.
Dia mengajak bicara mengenai kebiasaan sehari-hari si teman. Temannya
lalu menceritakan aktivitas hariannya. Bahkan, hingga hal yang pribadi,
termasuk kebiasaan buruknya saat mandi. Percakapan berlangsung beberapa
menit. Sebelum menutup pembicaraan, Ben yang menelepon sambil
cengengesan berkata, “Lu tahu nggak saat ini gue lagi wawancarai lu, untuk radio gue, dan suara lu sekarang lagi on air.” Karuan temannya kelabakan dan mengomel, “Sialan!”
Begitulah Benyamin Suaeb, nama bocah dan pemilik radio tadi, seniman
besar Betawi. Ada-ada saja polahnya. Hidupnya selalu diwarnai
kejailan-kejailan “kreatif” yang segar. Kejailan-kejailan yang tak hanya
menghibur dirinya, tapi juga banyak orang yang mengetahui, mendengar
atau melihatnya.
Kejailan Ben, begitu dia biasa dipanggil, tidak menyusut ketika
kehidupannya sudah mapan, ketika namanya sebagai seniman besar sudah
bersinar. Keisengan itu pula yang turut memberi warna karya-karya
seninya, baik film maupun lagu.
LAHIR dengan nama Bunjamin Suaeb, di Jakarta pada 5 Maret 1939, Ben merupakan anak bontot
dari delapan bersaudara. Bapaknya, Suaeb, berdarah Jawa sedangkan
emaknya, Siti Aisyah, Betawi asli. Haji Ung, kakek Ben dari garis ibu,
merupakan tokoh terpandang di Kemayoran. Kabarnya, dia merupakan
keturunan Si Jago, seorang pendekar Betawi terkenal yang namanya
diabadikan sebagai nama tempat: Bendungan Jago.
Ben kecil mengalami masa sulit. Rintangan demi rintangan silih
berganti mendatangi. Kehidupan rumah tangga orangtuanya berantakan. Saat
Ben lahir, bapaknya punya dua istri. Puncak kesulitan keluarga orang
tua Ben terjadi pada 1941, ketika Suaeb meninggal di Belitung. Aisyah
ibu Ben harus memikul beban keluarga seorang diri dengan jalan membuka
usaha jahit.
Sejak kecil bakat seni Ben telah terlihat. Meski bersuara cadel, Ben
mampu menirukan lagu-lagu orang dewasa dan menghibur tetangganya.
“Biasanya, sambil bernyanyi dia menggoyang-goyangkan pantatnya,” tulis
Ludhy. Biasanya, ibu-ibu yang gemas pada Ben menanggapnya untuk “mentas”
di rumah mereka masing-masing. Sebagai imbalannya Ben dapat “honor” kue
kering, bolu, atau uang. “Aku sih patuh aja. Selesai menyanyi dapat
duit segobang. Akhirnya aku jadi kesenangan dan ketagihan,” kenang Ben.
Bakat nyanyi itu makin terasah karena kakak-kakaknya mendukung. Bersama-sama, mereka kerap memainkan lagu-lagu Melayu, seperti Bajang-Bajang Bertali Sutra dan Pengantin Baru. Untuk lagu pembuka, mereka biasa memainkan lagu Belanda.
SAAT usinya tujuh tahun Ben sekolah di sekolah rakyat di Bendungan
Jago. Dia bukan termasuk anak pintar. Abangnya, M. Noer, yang paling
sabar mengajari Ben di rumah pun sampai kesal lantaran Ben tidak kunjung
bisa memahami pelajaran sekolahnya. Ben kemudian sempat melewati masa
sekolah di Bandung bersama bersama abangnya., Saidi. Di kota itu pula
kelak ia bertemu dengan saudara tirinya, Adung Saleh.
Mereka bersekolah di sekolah rakyat Santo Yusuf, Bandung. Ben dan
Saidi menumpang di rumah Otto Soeprapto, abang mereka yang bekerja
sebagai pegawai kereta api di Bandung. Otto sangat keras dan disiplin,
membuat Ben dan Saidi “kaget”. “Bayangin saja, dari tidak disiplin di
Kemayoran menjadi disiplin, wah rasanya kayak dihukum,” kenang Ben.
Ben dan Saidi tak lama tinggal di Bandung. Selepas tamat sekolah
rakyat mereka memilih melanjutkan studi di Jakarta. Ben lalu masuk
sekolah lanjutan Perguruan Sosial Indonesia (PEPSI) di Cikini. Di situ
dia sangat tekun. Meski harus berjalan kaki dua jam untuk bisa mencapai
sekolahnya, Ben tidak pernah mengeluh, tidak pernah membolos. “Saban
hari dia pulang sekitar pukul 20.00. Pergi berkeringat, pulang berpeluh
sudah jadi hal yang biasa,” tulis Ludhy. Lantaran kasihan melihat Ben,
abangnya Moenadji lalu membelikan sepeda BSA dengan cara mencicil. Ben
bersekolah di PEPSI hingga 1955.
Ben kemudian melanjutkan sekolah ke SMA Taman Siswa Kemayoran.
Konyol, jail, tengil, suka berantem, dan pandai menghibur tetap jadi
ciri Ben di sekolah itu. Meski nakal, dia tetap bertanggung jawab dan
solider. Syumanjaya, kelak menjadi sutradara terkenal, dan Misbach Yusa
Biran, penulis skenario terkenal satu almamater dengan Ben. Pelawak
Ateng Soeripto merupakan salah seorang “kroco” yang paling dekat dengan
Ben saat itu. Mereka sama-sama satu sekolah meski beda tingkatan: Ben
SMA Ateng SMP.
Sebenarnya Ben bercita-cita jadi pilot. Semua surat yang diperlukan
untuk menjadi pilot sempat dia urus. Tapi, cita-cita itu urung dia
perjuangkan lantaran Mak Aisyah takut. “Nggak usah aje ye, gue takut elu jatoh,” kata Mak Aisyah saat itu.
Ben lalu kuliah di Akademi Manajemen Sawerigading. Tapi, hanya sampai semester dua. Sambil kuliah Ben juga ngamen
di beberapa klab malam. Saat senggang, dia tetap main bola. Hobi main
bolanya ini pula yang mengantarkannya pada nasib menjadi pegawai PPD.
“Awalnya ingin menjadi tenaga administrasi, tapi tak tahu kenapa malah
menjadi kernet,” ujar Ben, mengenang. Ben jadi kernet bus yang melayani
trayek Lapangan Banteng-Pasar Rumput.
Pada masa itu pulalah Ben jatuh cinta kepada seorang gadis yang
tinggal tak jauh dari rumahnya. Noni, nama gadis itu, tinggal bersama
ibu dan ayah angkatnya serta ketiga saudara tiri. Mereka tinggal di
rumah kontrakan milik Cing Lale, ade Mak Aisyah. Ben dan Noni pacaran secara backstreet. Walaupun awalnya tak direstui orang tua Noni, akhirnya Ben dan Noni menikah pada 2 Oktober 1959.
Pada 1960, anak pertama pasangan Ben dan Noni lahir. Bayi itu dinamai
Beib Habani Benyamin. Tak lama setelah anak pertama lahir Ben pindah
kerja ke PN. Kriya Yasa, pabrik asbes semen. Di perusahaan itu karir Ben
mulai menanjak, ekonomi keluarganya pun beranjak membaik. Selain
mendapatkan rumah dinas di Kemayoran dan sepeda motor, Ben juga mampu
membeli rumah sederhana di Gang Bugis. Dari pernikahannya dengan Noni,
Ben dikaruniai lima anak: Beib Habani Benyamin, Bob Benito Benyamin,
Biem Triany Benyamin, Beno Rachmat Benyamin, dan Benny Pandawa Benyamin.
Tapi Ben pernah kena apes. Di tengah-tengah puncak kariernya, pabrik
tempatnya bekerja bangkrut. Ben kena PHK. Masa sulit pun kembali
menghampiri Ben dan keluarganya. Ben terpaksa hanya mengandalkan
pemasukan dari ngamen sementara Noni berjualan pisang goreng keliling kampung.
Tapi mujur kembali berpihak padanya. Karier sebagai pelawak,
penyanyi, dan pemain film perlahan menanjak setelah lagu pertamanya
diterima oleh Bing Slamet. Sejak saat itu Ben mulai dikenal sebagai ikon
Betawi.
Kesuksesan Ben tak seiring dengan keharmonisan rumah tangganya.
Akibat kesibukan, waktu Ben untuk keluarga makin minim. Dia juga mulai
sering ribut dengan istrinya. Akhirnya, Ben dan Noni bercerai meski
sempat rujuk sebentar. Kabarnya, Noni cemburu kepada Ida Royani.
Pernikahannya pun berantakan. Kabarnya Noni cemburu pada Ida Royani,
pasangan duet Ben. Konon Ben demen pada Ida, tapi gayung tak bersambut. Ida tak menaruh hati pada Ben yang sudah punya anak istri.
Ben yang sudah “melajang” itu pun kembali mencari jodoh. Kali ini
atas bantuan Bu Royani, ibu Ida Royani, Ben menemukan jodoh: Alfiah,
seorang gadis asal Kediri. Ben lalu meminang Alfiah, yang saat dinikahi
Ben usianya masih 17 tahun. Dari pernikahannya itu Ben dikaruniai empat
anak: Bayi Nurhayati, Billy Sabila Benyamin, Bianca Belladina, dan
Belinda Sahadati Amri. Kehadiran Alfiah –dan kemudian empat anaknya–
membuat semangat Ben untuk melepaskan diri dari cengekeraman “kegelapan”
kembali naik. Dan, Ben pun berhasil melewati masa-masa suramnya yang
kedua itu hingga sang maut datang menjemput pada 1995.
Kepergian Ben membuat banyak orang kehilangan. Tak hanya keluarga
maupun orang terdekatnya, tapi juga jutaan penggemarnya. Yang pasti,
dunia seni pertunjukan Indonesia telah kehilangan salah satu putra
terbaiknya. Putra yang, menurut Didi Petet, sukses mengerjakan tiga
profesi sekaligus: penyanyi, pelawak, dan pemain film.
Source : http://www.historia.co.id/?d=861
http://sikumbangtenabang.com
Dia berhasil jadi Ikon orang Betawi. Ada harga mahal yang harus dibayar: rumah tangganya berantakan.