Like us in Facebook

Featured Post 2

Penduduk asli Jakarta dengan ciri utamanya mempergunakan bahasa Betawi sebagai bahasa ibu, tinggal dan berkembang di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Terbentuk sekitar abad ke-17, merupakan hasil dari campuran beberapa suku bangsa seperti Bali, Sumatera, China, Arab dan Portugis. Dari latar belakang sosial dan budaya yang berbeda-beda, mereka mencoba mencari identitas bersama dalam bentuk lingua franca bahasa Melayu yang akhirnya terbentuk masyarakat homogen secara alamiah. Suku bangsa ini biasa juga disebut Orang Betawi atau Orang Jakarta (atau Jakarte menurut logat Jakarta). Nama "Betawi" berasal dari kata "Batavia". Nama yang diberikan oleh Belanda pada zaman penjajahan dahulu.
Jakarta, yang terletak di pinggir pantai atau pesisir, dalam proses perjalanan waktu menjadi kota dagang, pusat administrasi, pusat kegiatan politik, pusat pendidikan, dan disebut kota budaya. Proses perkembangan itu amat panjang, sejak lebih dari 400 tahun yang lalu. Sejak masa itulah Jakarta menjadi arena pembauran budaya para pendatang dari berbagai kelompok etnik. Mereka datang dengan berbagai sebab dan kepentingan, dan tentunya dengan latar belakang budaya masing-masing, sehingga menjadi suatu kebudayaan baru bagi penghuni Kota Jakarta, dan pendukung kebudayaan baru itu menyebut dirinya "Orang Betawi."
Anggota suku bangsa atau bangsa asing (dari luar Jakarta) tadi mulai berdiam di Jakarta pada waktu yang berbeda-beda. Pendatang paling dahulu adalah orang Melayu, Jawa, Bali, Bugis, Sunda, diikuti oleh anggota-anggota suku bangsa lainnya. Orang asing yang datang sejak awal adalah orang Portugis, Cina, Belanda, Arab, India, Inggris, dan Jerman. Unsur-unsur budaya kelompok etnik atau bangsa itu berasimilasi dan melahirkan budaya baru yang tampak dalam bahasa, kesenian, kepercayaan, cara berpakaian, makan, dan lain-lain.
Sejarah Suku Betawi: Sebutan suku, orang, kaum Betawi, muncul dan mulai populer ketika Mohammad Husni Tamrin mendirikan perkumpulan "Kaum Betawi" pada tahun 1918. Meski ketika itu "penduduk asli belum dinamakan Betawi, tapi Kota Batavia disebut "negeri" Betawi. Sebagai kategori "suku" dimunculkan dalam sensus penduduk tahun 1930. Asal mula Betawi terdapat berbagai pendapat, yang mengatakan berasal dari kesalahan penyebutan kata Batavia menjadi Betawi. Ada pula cerita lain, yaitu pada waktu tentara Mataram menyerang Kota Batavia yang diduduki oleh Belanda, tentara Belanda kekurangan peluru. Belanda tidak kehilangan akal, mereka mengisi meriam-meriamnya dengan kotoran mereka dan menembakkan meriam-meriam itu ke arah tentara Mataram sehingga tersebar bau tidak enak, yakni bau kotoran orang-orang Belanda. Sambil berlarian ten tara Mataram berteriak-teriak: Mambu tai! Mambu tai! Artinya bau tahi! bau tahi! Dari kata mambu tai itulah asal mula nama Betawi.
Menurut Bunyamin Ramto, masyarakat Betawi secara geografis dibagi dua bagian, yaitu Tengah dan Pinggiran. Masyarakat Betawi Tengah meliputi wilayah yang dahulu menjadi Gemente Batavia minus Tanjung Priok dan sekitarnya atau meliputi radius kurang lebih 7 km dari Monas, dipengaruhi kuat oleh budaya Melayu dan Agama Islam seperti terlihat dalam kesenian Samrah, Zapin dan berbagai macam Rebana. Dari segi bahasa, terdapat banyak perubahan vokal a dalam suku kata akhir bahasa Indonesia menjadi e, misal guna menjadi gune.
Masyarakat Betawi Pinggiran, sering disebut orang sebagai Betawi Ora yang dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu bagian utara dan selatan. Kaum Betawi Ora dalam beberapa desa di sekitar Jakarta berasal dari orang Jawa yang bercampur dengan suku-suku lain. Sebagian besar mereka itu petani yang menanam padi, pohon buah dan sayur mayur. Bagian utara meliputi Jakarta Utara, Barat, Tangerang yang dipengaruhi kebudayaan Cina, misalnya musik Gambang Kromong, tari Cokek dan teater Lenong. Bagian Selatan meliputi Jakarta Timur, Selatan, Bogor, dan Bekasi yang sangat dipengaruhi kuat oleh kebudayaan Jawa dan Sunda. Sub dialeknya merubah ucapan kata-kata yang memiliki akhir kata yang berhuruf a dengan ah, misal gua menjadi guah.
Penduduk Betawi: Komunitas penduduk di Jawa (Pulau Nusa Jawa) yang berbahasa Melayu, dikemudian hari disebut sebagai orang Betawi. Orang Betawi ini disebut juga sebagai orang Melayu Jawa. Merupakan hasil percampuran antara orang-orang Jawa, Melayu, Bali, Bugis, Makasar, Ambon, Manado, Timor, Sunda, dan mardijkers (keturunan Indo-Portugis) yang mulai menduduki kota pelabuhan Batavia sejak awal abad ke-15. Di samping itu, juga merupakan percampuran darah antara berbagai etnis: budak-budak Bali, serdadu Belanda dan serdadu Eropa lainnya, pedagang Cina atau pedagang Arab, serdadu Bugis atau serdadu Ambon, Kapten Melayu, prajurit Mataram, orang Sunda dan orang Mestizo.
Sementara itu mengenai manusia Betawi purbakala, adalah sebagaimana manusia pulau Jawa purba pada umumnya, pada zaman perunggu manusia Betawi purba sudah mengenal bercocok tanam. Mereka hidup berpindah-pindah dan selalu mencari tempat hunian yang ada sumber airnya serta banyak terdapat pohon buah-buahan. Mereka pun menamakan tempat tinggalnya sesuai dengan sifat tanah yang didiaminya, misalnya nama tempat Bojong, artinya "tanah pojok".
Dalam buku Jaarboek van Batavia (Vries, 1927) disebutkan bahwa semula penduduk pribumi terdiri dari suku Sunda tetapi lama kelamaan bercampur dengan suku-suku lain dari Nusantara juga dari Eropa, Cina, Arab, dan Jepang. Keturunan mereka disebut inlanders, yang bekerja pada orang Eropa dan Cina sebagai pembantu rumah tangga, kusir, supir, pembantu kantor, atau opas. Banyak yang merasa bangga kalau bekerja di pemerintahan meski gajinya kecil. Lain-lainnya bekerja sebagai binatu, penjahit, pembuat sepatu dan sandal, tukang kayu, kusir kereta sewaan, penjual buah dan kue, atau berkeliling kota dengan "warung dorongnya". Sementara sebutan wong Melayu atau orang Melayu lebih merujuk kepada bahasa pergaulan (lingua franca) yang dipergunakan seseorang, di samping nama "Melayu" sendiri memang sudah menjadi sebutan bagi suku bangsa yang berdiam di Sumatra Timur, Riau, Jambi dan Kalimantan Barat.
Posisi wanita Betawi di bidang pendidikan, perkawinan, dan keterlibatan dalam angkatan kerja relatif lebih rendah apabila dibandingkan dengan wanita lainnya di Jakarta dan propinsi lainnya di Indonesia. Keterbatasan kesempatan wanita Betawi dalam pendidikan disebabkan oleh kuatnya pandangan hidup tinggi mengingat tugas wanita hanya mengurus rumah tangga atau ke dapur, disamping keterbatasan kondisi ekonomi mereka. Situasi ini diperberat lagi dengan adanya prinsip kawin umur muda masih dianggap penting, bahkan lebih penting dari pendidikan. Tujuan Undang-Undang Perkawinan untuk meningkatkan posisi wanita tidak banyak memberikan hasii. Anak yang dilahirkan di Jakarta, tidak mempunyai hubungan dengan tempat asal di luar wilayah bahasa Melayu, dan tidak mempunyai hubungan kekerabatan atau adat istiadat dengan kelompok etnis lain di Jakarta.
Mata pencaharian orang Betawi dapat dibedakan antara yang berdiam di tengah kota dan yang tinggal di pinggiran. Di daerah pinggiran sebagian besar adalah petani buahbuahan, petani sawah dan pemelihara ikan. Namun makin lama areal pertanian mereka makin menyempit, karena makin banyak yang dijual untuk pembangunan perumahan, industri, dan lain-lain. Akhirnya para petani ini pun mulai beralih pekerjaan menjadi buruh, pedagang, dan lain-lain.
Dalam sistem kekerabatan, pada prinsipnya mereka mengikuti garis keturunan bilineal, artinya garis keturunan pihak ayah atau pihak ibu. Adat menetap sesudah nikah sangat tergantung pada perjanjian kedua pihak orang tua sebelum pernikahan dilangsungkan. Ada pengantin baru yang menetap di lingkungan kerabat suami (patrilokal) dan ada pula yang menetap di lingkungan kerabat istri (matrilokal). Secara umum orang tua cenderung menyandarkan hari tuanya pada anak perempuan. Mereka menganggap anak perempuan akan lebih telaten mengurus orang tua dari pada menantu perempuan.
Tatanan sosial orang Betawi lebih didasarkan pada senioritas umur, artinya orang muda menghormati orang yang lebih tua. Hal ini dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari. Apabila seseorang bertemu dengan orang lain, yang muda mencium tangan orang yang lebih tua. Pada hari-hari Lebaran, orang yang didahulukan adalah orang tua atau yang dituakan. Memang orang Betawi juga cukup menghormati haji, orang kaya, orang berpangkat, asalkan mereka memang "baik" dan bijaksana, atau memperhatikan kepentingan masyarakat.
Latar belakang jumlah penduduk atau pendukung budaya Betawi, pada masa lalu maupun sekarang tidak diketahui secara pasti. Catatan yang berasal dari tahun 1673 menunjukkan bahwa jumlah penduduk (dalam tembok kota) Jakarta adalah 27.068 jiwa. Jumlah ini terdiri atas orang "merdeka" dan "budak", yang banyaknya hampir seimbang. Penduduk di luar tembok kota berjumlah 7.286 jiwa. Mereka yang berada dalam tembok kota terdiri atas orang Mardijkers, Cina, Belanda, Moor, Jawa, Bali, Peranakan Belanda, dan Melayu. Golongan yang jumlahnya terbesar adalah Mardijkers (5.362 jiwa) dan yang terkecil Melayu (611 jiwa). Menurut proyeksi lebih baru tentang jumlah orang Betawi di Jakarta dan sekitarnya, jumlah orang Betawi pada tahun 1930 (menurut sensus) adalah 418.894 jiwa, dan pada tahun 1961 adalah 655.400 jiwa.
Kebudayaan Betawi: Merupakan sebuah kebudayaan yang dihasilkan melalui percampuran antar etnis dan suku bangsa, seperti Portugis, Arab, Cina, Belanda, dan bangsa-bangsa lainnya. Dari benturan kepentingan yang dilatarbelakangi oleh berbagai budaya. Kebudayaan Betawi mulai terbentuk pada abad ke-17 dan abad ke-18 sebagai hasil proses asimilasi penduduk Jakarta yang majemuk. Menurut Umar Kayam, kebudayaan Betawi ini sosoknya mulai jelas pada abad ke-19. Yang dapat disaksikan, berkenaan dengan budaya Betawi diantaranya bahasa logat Melayu Betawi, teater (topeng Betawi, wayang kulit Betawi), musik (gambang kromong, tanjidor, rebana), baju, upacara perkawinan dan arsitektur perumahan.
Berdasarkan pemakaian logat bahasa, budaya Betawi dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu: 1) Betawi Pesisir, termasuk Betawi Pulo; 2) Betawi Tengah/Kota; 3) Betawi Pinggir; 4) Betawi Udik, daerah perbatasan dengan wilayah budaya Sunda. Jika pemetaan budaya disusun berdasarkan intensitas transformasi budaya Barat, maka terbagi menjadi tiga, yaitu: 1) Betawi Indo; 2) Betawi Tengah/Kota; 3) Betawi Pesisir, Pinggir, Udik.
Dalam kebudayaan Betawi terlihat jelas pengaruh kebudayaan Portugis, terutama dalam bahasa. Rupanya bahasa Portugis pernah mempunyai pengaruh yang berarti di kalangan masyarakat penghuni Jakarta. Pengaruh Portugis terasa pula dalam seni musik, tari-tarian, dan kesukaan akan pakaian hitam. Budaya Portugis ini masuk melalui orang Moor (dari kata Portugis Mouro, artinya "muslim"). Pengaruh Arab itu tampak dalam bahasa, kesenian dan tentunya dalam budaya Islam umumnya. Budaya Cina terserap terutama dalam bentuk bahasa, makanan dan kesenian. Dalam kesenian, pengaruh budaya Cina tercermin, misalnya pada irama lagu, alat dan nama alat musik, seperti kesenian Gambang Rancak. Pengaruh Belanda terasa antara lain dalam mata pencaharian, pendidikan, dan lain-lain. Hingga saat ini, unsur budaya asing lain dapat dirasakan di sana sini dalam budaya Betawi.
Kehadiran berbagai anggota suku bangsa ditandai adanya nama-nama kampung atau tempat di Jakarta yang menunjukkan asal mereka, misalnya ada Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Bugis, Kampung Makasar, Kampung Jawa, Kampung Ambon. Di antara kelompok-kelompok etnik tersebut di atas, kelompok etnik Melayu menempati kedudukan yang cukup penting, meskipun jumlah mereka relatif sedikit dibandingkan oleh orang Bali, Bugis, Cina dan lain-lain. Pengaruh Melayu menjadi penting karena peranan bahasanya.
Kebiasaan Hidup Masyarakat Betawi: Gambaran beberapa kebiasaan hidup berkaitan dengan berkeluarga dan rumah masyarakat Betawi, khususnya di daerah Jakarta Timur/Tenggara dan lainnya. Khusus menyoroti berbagai etika yang harus dilaksanakan dalam hubungan antara pria bujang dengan gadis penghuni rumah. Awalnya laki-laki akan ngglancong bersama-sama kawannya, berkunjung ke rumah calon istrinya untuk bercakap-cakap dan bergurau sampai pagi. Hubungan tersebut tidak dilakukan secara langsung tetapi melalui jendela bujang atau jendela Cina. Si laki-laki duduk atau tiduran di peluaran (ruang depan) sedangkan si perempuan ada di dalam rumah mengintip dari balik jendela bujang. Perempuan juga tidak boleh duduk di trampa (ambang pintu). Ada kepereayaan "perawan dilamar urung, laki-laki dipandang orang", yang artinya perempuan susah ketemu jodoh dan kalau laki-laki bisa disangka berbuat jahat. Maksudnya, perempuan yang duduk di atas trampa dianggap memamerkan diri dan dipandang tidak pantas. Sementara apabila laki-laki yang melanggar trampa dapat dianggap sebagai orang yang yang bermaksud jahat.
Muncul juga istilah ngebruk, yaitu apabila laki-laki berani melangkahi trampa rumah (terutama rumah yang ada anak gadisnya) maka perjaka itu diharuskan mengawini gadis yang tinggal di rumah tersebut. Karena kalau tidak dikawinkan akan mendapat nama yang tidak baik dalam masyarakat. Pengertian ngebruk juga disebut "nyerah diri", dalam arti si laki-laki datang ke rumah perempuan yang ingin dinikahinya dengan menyerahkan uang atau pakaian. Hal ini dilakukan jika belum ada persetujuan terhadap hubungan itu atau karena kondisi keuangan yang belum memenuhi syarat.

Sumber : http://www.jakarta.go.id

Belum lama ini benturan antar Ormas Betawi kembali terjadi lantaran sepetak lahan. Realitas tersebut amat menyedihkan sekaligus menyakitkan. Realitas yang tentunya amat melenceng dari visi misi Ormas Betawi tersebut yang ingin mengangkat harkat martabat kaum Betawi dan bisa menjadi tuan rumah di kampung halamannya sendiri.

Sebagai anak Betawi, saya sungguh tak habis pikir mengapa benturan di antara Ormas Betawi kerapkali terjadi hanya karena persoalan sepele. Dan, sepertinya, para pengurus ormas di tingkat pusat menganggap hal biasa bila terjadi gesekan di antara anggota ormas mereka di bawah. Sehingga mereka tak pernah mencari solusi dari setiap benturan yang muncul hingga di lain hari benturan itu kembali terjadi.

Seharusnya, setidak-tidaknya menurut saya, begitu terjadi benturan para elit dari masing-masing ormas duduk satu meja dan mencari solusi terbaik agar di kemudian hari tidak lagi terjadi gesekan atau benturan hanya karena persoalan lahan. Bukannya menutup mata pada kejadian yang pada dasarnya mencoreng nama Betawi karena sama-sama orang Betawi kok bentrok melulu.
Sayangnya, upaya duduk satu meja itu sampai saat ini belum kedengaran wacananya, meski yang namanya bentrokan sesama Ormas Betawi kerap terjadi. Lebih disayangkan lagi, BAMUS Betawi selaku payung Ormas Betawi pun tidak mengambil langkah strategis sebagai upaya meminimalisasikan gesekan di antara Ormas Betawi yang berpayung di BAMUS Betawi.

Kita yang mendambakan eratnya ukhuwah di antara sesama anak Betawi, tentunya berharap ke depan tak terdengar lagi berita tentang benturan sesama anak Betawi yang berbeda bendera lantaran persoalan lahan yang ujung-ujungnya cuma jadi tukang parkir dan tukang ngutip duit keamanan kepada pedagang yang mayoritas hidupnya juga senin – kemis.

Karena tujuan kita aktif di Ormas Betawi menginginkan agar generasi muda Betawi selaku penduduk inti Kota Jakarta dapat meningkatkan skill-nya sehingga bisa bersaing secara sehat dengan saudara-saudara kita dari daerah lain dalam segala bidang. Karena itu sebagai pengurus maupun anggota Ormas Betawi kita dituntut konsisten dalam memperjuangkan kaum Betawi tanpa memandang bendera.

Bendera boleh berbeda tetapi Betawi tetap satu. Satu-kesatuan yang akhirnya mensinerjikan kekuatan kita dalam menjalankan sebuah gerakan besar mengangkat harkat martabat kaum Betawi dengan menitik beratkan pada peningkatan SDM kaum muda Betawi. Tentu, upaya besar ini membutuhkan pengorbanan dari para tokoh, pejabat, politisi, budayawan, dan pengusaha Betawi untuk bersatu demi kemajuan Betawi.

Jangan kaum Betawi cuma dijadikan ‘sisir’ yang dicari saat mau dipake dan setelah dipake diletakin lagi secara sembarangan!

http://majalahbatavianews.wordpress.com


Dia berhasil  jadi Ikon orang Betawi. Ada harga mahal yang harus dibayar: rumah tangganya berantakan.
SEBUAH pekarangan rumah di salah satu kampung di Kemayoran, Jakarta. Seorang bocah enam tahun asyik bermain pada suatu siang tahun 1940-an. Kulitnya legam, berbadan cebol dan tambun. Ia hanya bercelana kolor.
Tiba-tiba suara keluar dari mulut seorang kakek yang berada di dekatnya. Si kakek minta tolong pada bocah itu, yang merupakan cucunya. “Ben, beliin engkong tape,” kata si kakek.
Si bocah langsung menghampiri kakeknya, mengambil uang receh dan menuju ke tempat tukang tape biasa mangkal. “Pekerjaan” itu sudah menjadi kebiasaan bagi si bocah.
Tak lama kemudian, dia datang. Tapi kali ini prilakunya agak aneh.
“Kong, gak ada tapenya, Kong,” kata bocah cebol itu sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Lu goblok lu, masak gak ada. Orang jualan bererot (berderet) di situ,” jawab si kakek sembari sewot.
“Lagi gak dagang kali, Kong.”
“Enggak, tiap hari pada dagang di situ.”
Si kakek lalu memperhatikan cucunya dengan seksama. Matanya berhenti pada tali celana kolor bocah. Si kakek langsung bertanya. “Itu apa yang lu gantung?”
“Tape.”
“Astagfirullah, lu kebangetan, makanan digantungin di celana.” Si kakek gregetan. Tapi Haji Ung, nama kakek itu, akhirnya cekikikan karena tak tahan melihat ulah jail cucunya itu.
Berpuluh-puluh tahun kemudian, si cucu masih tetap jail. Di suatu pagi di studio radio miliknya, dia menelepon seorang teman di Bandung. Dia mengajak bicara mengenai kebiasaan sehari-hari si teman. Temannya lalu menceritakan aktivitas hariannya. Bahkan, hingga hal yang pribadi, termasuk kebiasaan buruknya saat mandi. Percakapan berlangsung beberapa menit. Sebelum menutup pembicaraan, Ben yang menelepon sambil cengengesan berkata, “Lu tahu nggak saat ini gue lagi wawancarai lu, untuk radio gue, dan suara lu sekarang lagi on air.” Karuan temannya kelabakan dan mengomel, “Sialan!”
Begitulah Benyamin Suaeb, nama bocah dan pemilik radio tadi, seniman besar Betawi. Ada-ada saja polahnya. Hidupnya selalu diwarnai kejailan-kejailan “kreatif” yang segar. Kejailan-kejailan yang tak hanya menghibur dirinya, tapi juga banyak orang yang mengetahui, mendengar atau melihatnya.
Kejailan Ben, begitu dia biasa dipanggil, tidak menyusut ketika kehidupannya sudah mapan, ketika namanya sebagai seniman besar sudah bersinar. Keisengan itu pula yang turut memberi warna karya-karya seninya, baik film maupun lagu.
LAHIR dengan nama Bunjamin Suaeb, di Jakarta pada 5 Maret 1939, Ben merupakan anak bontot dari delapan bersaudara. Bapaknya,  Suaeb, berdarah Jawa sedangkan emaknya, Siti Aisyah, Betawi asli. Haji Ung, kakek Ben dari garis ibu, merupakan tokoh terpandang di Kemayoran. Kabarnya, dia merupakan keturunan Si Jago, seorang pendekar Betawi terkenal yang namanya diabadikan sebagai nama tempat: Bendungan Jago.
Ben kecil mengalami masa sulit. Rintangan demi rintangan silih berganti mendatangi. Kehidupan rumah tangga orangtuanya berantakan. Saat Ben lahir, bapaknya punya dua istri. Puncak kesulitan keluarga orang tua Ben terjadi pada 1941, ketika Suaeb meninggal di Belitung. Aisyah ibu Ben harus memikul beban keluarga seorang diri dengan  jalan membuka usaha jahit.
Sejak kecil bakat seni Ben telah terlihat. Meski bersuara cadel, Ben mampu menirukan lagu-lagu orang dewasa dan menghibur tetangganya. “Biasanya, sambil bernyanyi dia menggoyang-goyangkan pantatnya,” tulis Ludhy. Biasanya, ibu-ibu yang gemas pada Ben menanggapnya untuk “mentas” di rumah mereka masing-masing. Sebagai imbalannya Ben dapat “honor” kue kering, bolu, atau uang. “Aku sih patuh aja. Selesai menyanyi dapat duit segobang. Akhirnya aku jadi kesenangan dan ketagihan,” kenang Ben.
Bakat nyanyi itu makin terasah karena kakak-kakaknya mendukung. Bersama-sama, mereka kerap memainkan lagu-lagu Melayu, seperti Bajang-Bajang Bertali Sutra dan Pengantin Baru. Untuk lagu pembuka, mereka biasa memainkan lagu Belanda.
SAAT usinya tujuh tahun Ben sekolah di sekolah rakyat di Bendungan Jago. Dia bukan termasuk anak pintar. Abangnya, M. Noer, yang paling sabar mengajari Ben di rumah pun sampai kesal lantaran Ben tidak kunjung bisa memahami pelajaran sekolahnya. Ben kemudian sempat melewati masa sekolah di Bandung bersama bersama abangnya., Saidi. Di kota itu pula kelak ia bertemu dengan saudara tirinya, Adung Saleh.
Mereka bersekolah di sekolah rakyat Santo Yusuf, Bandung. Ben dan Saidi menumpang di rumah Otto Soeprapto, abang mereka yang bekerja sebagai pegawai kereta api di Bandung. Otto sangat keras dan disiplin, membuat Ben dan Saidi “kaget”. “Bayangin saja, dari tidak disiplin di Kemayoran menjadi disiplin, wah rasanya kayak dihukum,” kenang Ben.
Ben dan Saidi tak lama tinggal di Bandung. Selepas tamat sekolah rakyat mereka memilih melanjutkan studi di Jakarta. Ben lalu masuk sekolah lanjutan Perguruan Sosial Indonesia (PEPSI) di Cikini. Di situ dia sangat tekun. Meski harus berjalan kaki dua jam untuk bisa mencapai sekolahnya, Ben tidak pernah mengeluh, tidak pernah membolos. “Saban hari dia pulang sekitar pukul 20.00. Pergi berkeringat, pulang berpeluh sudah jadi hal yang biasa,” tulis Ludhy. Lantaran kasihan melihat Ben, abangnya Moenadji lalu membelikan sepeda BSA dengan cara mencicil. Ben bersekolah di PEPSI hingga 1955.
Ben kemudian melanjutkan sekolah ke SMA Taman Siswa Kemayoran. Konyol, jail, tengil, suka berantem, dan pandai menghibur tetap jadi ciri Ben di sekolah itu. Meski nakal, dia tetap bertanggung jawab dan solider. Syumanjaya, kelak menjadi sutradara terkenal, dan Misbach Yusa Biran, penulis skenario terkenal satu almamater dengan Ben. Pelawak Ateng Soeripto merupakan salah seorang “kroco” yang paling dekat dengan Ben saat itu. Mereka sama-sama satu sekolah meski beda tingkatan: Ben SMA Ateng SMP.
Sebenarnya Ben bercita-cita jadi pilot. Semua surat yang diperlukan untuk menjadi pilot sempat dia urus. Tapi, cita-cita itu urung dia perjuangkan lantaran Mak Aisyah takut. “Nggak usah aje ye, gue takut elu jatoh,” kata Mak Aisyah saat itu.
Ben lalu kuliah di Akademi Manajemen Sawerigading. Tapi, hanya sampai semester dua. Sambil kuliah Ben juga ngamen di beberapa klab malam. Saat senggang, dia tetap main bola. Hobi main bolanya ini pula yang mengantarkannya pada nasib menjadi pegawai PPD. “Awalnya ingin menjadi tenaga administrasi, tapi tak tahu kenapa malah menjadi kernet,” ujar Ben, mengenang. Ben jadi kernet bus yang melayani trayek Lapangan Banteng-Pasar Rumput.
Pada masa itu pulalah Ben jatuh cinta kepada seorang gadis yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Noni, nama gadis itu, tinggal bersama ibu dan ayah angkatnya serta ketiga saudara tiri. Mereka tinggal di rumah kontrakan milik Cing Lale, ade Mak Aisyah. Ben dan Noni pacaran secara backstreet.  Walaupun awalnya tak direstui orang tua Noni, akhirnya Ben dan Noni menikah pada 2 Oktober 1959.
Pada 1960, anak pertama pasangan Ben dan Noni lahir. Bayi itu dinamai Beib Habani Benyamin. Tak lama setelah anak pertama lahir Ben pindah kerja ke PN. Kriya Yasa, pabrik asbes semen. Di perusahaan itu karir Ben mulai menanjak, ekonomi keluarganya pun beranjak membaik. Selain mendapatkan rumah dinas di Kemayoran dan sepeda motor, Ben juga mampu membeli rumah sederhana di Gang Bugis. Dari pernikahannya dengan Noni, Ben dikaruniai lima anak: Beib Habani Benyamin, Bob Benito Benyamin, Biem Triany Benyamin, Beno Rachmat Benyamin, dan Benny Pandawa Benyamin.
Tapi Ben pernah kena apes. Di tengah-tengah puncak kariernya, pabrik tempatnya bekerja bangkrut. Ben kena PHK. Masa sulit pun kembali menghampiri Ben dan keluarganya. Ben terpaksa hanya mengandalkan pemasukan dari ngamen sementara Noni berjualan pisang goreng keliling kampung.
Tapi mujur kembali berpihak padanya. Karier sebagai pelawak, penyanyi, dan pemain film perlahan menanjak setelah lagu pertamanya diterima oleh Bing Slamet. Sejak saat itu Ben mulai dikenal sebagai ikon Betawi.
Kesuksesan Ben tak seiring dengan keharmonisan rumah tangganya. Akibat kesibukan, waktu Ben untuk keluarga makin minim. Dia juga mulai sering ribut dengan istrinya. Akhirnya, Ben dan Noni bercerai meski sempat rujuk sebentar. Kabarnya, Noni cemburu kepada Ida Royani. Pernikahannya pun berantakan. Kabarnya Noni cemburu pada Ida Royani, pasangan duet Ben. Konon Ben demen pada Ida, tapi gayung tak bersambut. Ida tak menaruh hati pada Ben yang sudah punya anak istri.
Ben yang sudah “melajang” itu pun kembali mencari jodoh. Kali ini atas bantuan Bu Royani, ibu Ida Royani, Ben menemukan jodoh: Alfiah, seorang gadis asal Kediri. Ben lalu meminang Alfiah, yang saat dinikahi Ben usianya masih 17 tahun. Dari pernikahannya itu Ben dikaruniai empat anak: Bayi Nurhayati, Billy Sabila Benyamin, Bianca Belladina, dan Belinda Sahadati Amri. Kehadiran Alfiah –dan kemudian empat anaknya– membuat semangat Ben untuk melepaskan diri dari cengekeraman “kegelapan” kembali naik. Dan, Ben pun berhasil melewati masa-masa suramnya yang kedua itu hingga sang maut datang menjemput pada 1995.
Kepergian Ben membuat banyak orang kehilangan. Tak hanya keluarga maupun orang terdekatnya, tapi juga jutaan penggemarnya. Yang pasti, dunia seni pertunjukan Indonesia telah kehilangan salah satu putra terbaiknya. Putra yang, menurut Didi Petet, sukses mengerjakan tiga profesi sekaligus: penyanyi, pelawak, dan pemain film.

Source : http://www.historia.co.id/?d=861
http://sikumbangtenabang.com

Jakarta : Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) mencopot Walikota Jakarta Selatan, Anas Efendi dan dipindahtugaskan menjadi Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah. Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki T Purnama (Ahok) pun punya alasan tersendiri kenapa Anas dipindahtugaskan.
Awalnya, Ahok tidak mau menjawab secara jelas alasan dirinya dan Jokowi mengganti Anas yang telah menjabat sebagai Walikota tidak lebih dari 1,5 tahun tersebut. "Alasannya, coba tanya Pak Sekda deh, dia yang lebih tahu," ujar Basuki di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (15/2/2013).
Dengan dirotasinya Anas sebagai Kepala Perpustakaan dan Arsip Daerah, maka jabatan Walikota akan diserahkan kepada wakil Walikota Jakarta Selatan yang mendampingi Anas selama ini yaitu Syamsudin Noor. Ahok pun berkelakar naiknya rotasi tersebut dilakukan lantaran Syamsudin yang berpostur tubuh kurus ini mirip dengan Jokowi.
"Saya enggak tahu, alasannya mungkin wakilnya lebih mirip Pak Jokowi kali. Coba lihat tampangnya Pak Anas dan pak Syamsudin, mana yang lebih mendekati potongan pak jokowi," ujar Ahok sambil tertawa.
Apakah dengan begitu, perawakan kurus seperti Jokowi akan menjadi syarat bagi pejabat baru yang akan di lantik? Ahok pun kembali menanggapi sambil berkelakar.

sumber : http://news.liputan6.com 
 Sekretaris Kota Adminitrasi Jakarta Selatan Usmayadi mengatakan, dimutasinya Walikota Jakarta Selatan, Anas Effendy menjadi Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah itu bisa dikatakan mendadak. Pasalnya, mutasi itu baru beritatahukan kepadanya pada Rabu (13/2/13) malam, sedangkan Kamis (14/2/13) Anas dilantik, meskipun Anas tidak menghadiri pelantikannya.
“Sebenarnya Rabu malam itu dia baru diberitahu, dia kaget karena mendadak. Beliau juga tidak tahu mau dimutasi,” kata Usmayadi dikantornya, Jumat (15/2/13).
Lebih lanjut Usmayadi menuturkan, saat ini belum ada penggantinya, karena harus menunggu kepastian dari Pemprov DKI Jakarta untuk mengisi jabatan ini. Tetapi, kita tetap bisa bekerja karena itu sudah sistem.
“Tentunya Pemprov akan menentukan calon pelaksana tugas atau pelaksana harian Walikota, entah itu dari provinsi. Biasanya dijabat asisten atau wakil. Meski jabatan Walikota tidak ada,” ujarnya.
Seperti diketahui, kemarin Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo melakukan mutasi terhadap beberapa pejabat di lingkungan pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Diantaranya adalah Walikota Jakarta Selatan Anas Effendi yang dimutasi menjadi Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah.
Siang kemarin seharusnya Anas dilantik untuk menempati pos barunya, namun ternyata yang bersangkutan mangkir dan tidak hadir pada saat upacara pelantikan.
Jokowi sendiri mengatakan, akan mengganti pejabat pemerintahan di lingkungan Pemprov DKI Jakarta yang tidak mampu mengikuti pola kerja yang diterapkan mantan walikota Solo itu.
Gubernur DKI Jakarta Jokowi menolak jika alasan pemindahan Anas adalah karena kinerjanya dianggap buruk, tetapi dimutasi karena memang jabatan Kepala Perpustakaan dan Arsip Daerah memang sedang kosong sehingga walikota yang dilantik pada November tahun 2011 lalu itu ditugasi untuk mengisi posisi itu.
“Ya karena di perpustakaannya kosong. Kan yang di arsip sudah pensiun,” ujar Jokowi.@hermawan

sumber :http://www.lensaindonesia.com 
JAKARTA—Ketua Umum Forum Pemuda Betawi (FPB) Rachmat HS siap memelopori perubahan paradigma dalam Badan Musyawarah (Bamus) Betawi. Pimpinan ormas yang masih dalam naungan Bamus Betawi itu menegaskan bahwa saat ini diperlukan orang-orang muda visioner untuk menahkodai wadah berhimpunnya 100-an ormas kebetawian tersebut.
“Bamus Betawi harus jadi rumah besar warga Betawi. Bamus harus diisi orang-orang muda yang visioner dan trackrecordnya jelas. Kedepan bamus harus jadi tempat ide dan gagasan,” kata Rachmat HS usai diskusi panel dengan tema masyarakat Betawi bebenah, di gedung Juang, Jakpus kemarin.
Menurut Rachmat, pasca pilkada DKI lalu, semangat warga Betawi agak drop. Jadi perlu dirajut kembali semangatnya agar tetap eksis.
“Diskusi panel ini merupakan momentum membangun spirit moral kepada masyarakat betawi yg tergabung dalam Bamus Betawi. Apalagi, jelang Mubes Betawi 11 Januari mendatang, diskusi ini menjadi sangat penting. Ini ajang urun rembug dari tokoh-tokoh Betawi,” katanya.
Dikatakan, saat ini warga Betawi harus bangkit, semangatnya harus ditata ulang. “Harus digabungkan kembali menjadi satu kekuatan. Warga Betawi harus eksis di kampungnya sendiri. Eksistensi warga Betawi tidak boleh luntur, siapapun gubernurnya,” jelas Rahmat HS.
Hadir dalam diskusi tersebut sejumlah tokoh betawi. Antara lain ketum Bamus Betawi Nachrowi Ramli, anggota DPRD DKI Zainuddin alias bang Oding, sesepuh Betawi Amarullah Asbah, Effendy Yusuf, Husein Sani, serta mantan Sekjen Bamus betawi Bachrullah Akbar.
“Hadirnya tokoh betawi dalam diskusi ini menunjukkan bahwa semua peduli terhadap betawi. FPB akan jadi pelopor dalam perubahan tersebut,” tegasnya.
Rachmat menegaskan dirinya hanya akan menjadi perekat bagi kemajuan dan kesejahteraan Bamus Betawi.
Nachrowi Ramli sendiri sangat mengapresiasi acara tersebut. “Kita ingin Bamus tidak tidur. Bamus tetap harus eksis. Karena siapapun gubernurnya, warga betawi merupakan penduduk inti kota Jakarta,” tegas pria pada pilkada lalu mencalonkan diri sebagai wagub bersama Fauzi Bowo sebagai gubernurnya.
sumber : http://www.harianterbit.com
Editor — Maghfur Ghazali

JAKARTA : Musyawarah Besar (Mubes) ke-6 Badan Musyawarah (Bamus) Betawi berkeinginan menjadi organisasi masyarakat (ormas) tingkat nasional. Alasannya, saat ini sebanyak 114 ormas Betawi sudah berkembang pesat di 20 provinsi, berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada Desember 2012.

Dalam Mubes Bamus Betawi yang dijadwalkan berlangsung di Asrama Haji Pondok Gede, 1-3 Maret 2013, itu dipastikan membahas dan menyetujui peningkatan struktur organisasi ini dari hanya tingkat Jabodetabek menjadi nasional.
Sementara itu, figur muda putra Betawi yang juga Ketua Forum Pemuda Betawi (FPB) Rahmad HS mendeklarasikan diri siap mencalonkan diri menjadi Ketua Umum Bamus Betawi periode 2013-2017.
Rahmad HS mengklaim telah didukung 31 dari 82 ormas Betawi yang memiliki suara untuk memilih ketua umum. "Saya optimis dukungan ini riil, dan akan terus bertambah, sehingga dalam pemilihan, saya menang aklamasi," ujar Rahmad HS.
Ia bertekad memimpin Bamus Betawi menjadi organisasi induk dari semua organisasi kebetawian dan rumah besar bagi orang Betawi dalam berurun rembuk mengeluarkan gagasan yang cemerlang dan bisa diaplikasikan dalam program organisasi.
Ia telah mempersiapkan diri lima tahun lalu, dan mendapat restu dari Ketua Umum Bamus Betawi Mayjen TNI (Purn) Nachrowi Ramli, yang menyatakan diri minta izin tidak mencalonkan lagi menjadi ketua umum.
Menurut Ketua Pelaksana atau Organizing Committee (OC) Mubes ke-6 Bamus Betawi H Arsani didampingi Wakil Ketua Zamakh Sari, Mubes Betawi sedianya dilaksanakan 16-17 Februari 2013. Namun, karena mempertimbangkan kesiapan OC, kesiapan teknis, maka diundur.
"Pengunduran ini untuk lebih memberi kesempatan baik kepada OC mempersiapkan secara lebih maksimal dan terselenggaranya Mubes Bamus Betawi," kata Arsani.


Zamakh Sari menambahkan, pada Kamis (14/2) malam, dalam acara peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW di kediaman Mayjen TNI (Purn) Nachrowi Ramli, yang didampingi keluarganya, menyatakan bahwa sebagai ketua umum telah menyiapkan kader yang siap melanjutkan estafet kepemimpinan sebagai ketua umum Bamus Betawi. (Yon Parjiyono)

sumber :  http://www.suarakarya-online.com