Featured Post 2
Penduduk asli Jakarta dengan ciri
utamanya mempergunakan bahasa Betawi sebagai bahasa ibu, tinggal dan
berkembang di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Terbentuk sekitar abad
ke-17, merupakan hasil dari campuran beberapa suku bangsa seperti Bali,
Sumatera, China, Arab dan Portugis. Dari latar belakang sosial dan
budaya yang berbeda-beda, mereka mencoba mencari identitas bersama dalam
bentuk lingua franca bahasa
Melayu yang akhirnya terbentuk masyarakat homogen secara alamiah.
Suku bangsa ini biasa juga disebut Orang Betawi atau Orang Jakarta (atau
Jakarte menurut logat Jakarta). Nama "Betawi" berasal dari kata
"Batavia". Nama yang diberikan oleh Belanda pada zaman penjajahan
dahulu.
Jakarta, yang terletak di pinggir
pantai atau pesisir, dalam proses perjalanan waktu menjadi kota dagang,
pusat administrasi, pusat kegiatan politik, pusat pendidikan,
dan disebut kota budaya. Proses perkembangan itu amat panjang, sejak
lebih dari 400 tahun yang lalu. Sejak masa itulah Jakarta menjadi arena
pembauran budaya para pendatang dari berbagai kelompok etnik. Mereka
datang dengan berbagai sebab dan kepentingan, dan tentunya dengan latar
belakang budaya masing-masing, sehingga menjadi suatu kebudayaan baru
bagi penghuni Kota Jakarta, dan pendukung kebudayaan baru itu menyebut
dirinya "Orang Betawi."
Anggota suku bangsa atau bangsa
asing (dari luar Jakarta) tadi mulai berdiam di Jakarta pada waktu yang
berbeda-beda. Pendatang paling dahulu adalah orang Melayu, Jawa, Bali,
Bugis, Sunda, diikuti oleh anggota-anggota suku bangsa lainnya. Orang
asing yang datang sejak awal adalah orang Portugis, Cina, Belanda, Arab,
India, Inggris, dan Jerman. Unsur-unsur budaya kelompok etnik atau
bangsa itu berasimilasi dan melahirkan budaya baru yang tampak dalam
bahasa, kesenian, kepercayaan, cara berpakaian, makan, dan lain-lain.
Sejarah Suku Betawi:
Sebutan suku, orang, kaum Betawi, muncul dan mulai populer ketika
Mohammad Husni Tamrin mendirikan perkumpulan "Kaum Betawi" pada
tahun 1918. Meski ketika itu "penduduk asli belum dinamakan Betawi, tapi
Kota Batavia disebut "negeri" Betawi. Sebagai kategori
"suku" dimunculkan dalam sensus penduduk tahun 1930. Asal mula Betawi
terdapat berbagai pendapat, yang mengatakan berasal dari kesalahan
penyebutan kata Batavia menjadi Betawi. Ada pula cerita lain, yaitu pada
waktu tentara Mataram menyerang Kota Batavia yang diduduki oleh
Belanda, tentara Belanda kekurangan peluru. Belanda tidak
kehilangan akal, mereka mengisi meriam-meriamnya dengan kotoran mereka
dan menembakkan meriam-meriam itu ke arah tentara Mataram sehingga
tersebar bau tidak enak, yakni bau kotoran orang-orang Belanda. Sambil
berlarian ten tara Mataram berteriak-teriak: Mambu tai! Mambu tai! Artinya bau tahi! bau tahi! Dari kata mambu tai itulah asal mula nama Betawi.
Menurut Bunyamin Ramto, masyarakat
Betawi secara geografis dibagi dua bagian, yaitu Tengah dan Pinggiran.
Masyarakat Betawi Tengah meliputi wilayah yang dahulu menjadi Gemente
Batavia minus Tanjung Priok dan sekitarnya atau meliputi radius kurang
lebih 7 km dari Monas, dipengaruhi kuat oleh budaya Melayu dan Agama
Islam seperti terlihat dalam kesenian Samrah, Zapin dan berbagai macam
Rebana. Dari segi bahasa, terdapat banyak perubahan vokal a dalam suku kata akhir bahasa Indonesia menjadi e, misal guna menjadi gune.
Masyarakat Betawi Pinggiran,
sering disebut orang sebagai Betawi Ora yang dikelompokkan menjadi dua
bagian yaitu bagian utara dan selatan. Kaum Betawi Ora dalam beberapa
desa di sekitar Jakarta berasal dari orang Jawa yang bercampur dengan
suku-suku lain. Sebagian besar mereka itu petani yang menanam padi,
pohon buah dan sayur mayur. Bagian utara meliputi Jakarta Utara, Barat,
Tangerang yang dipengaruhi kebudayaan Cina, misalnya musik
Gambang Kromong, tari Cokek dan teater Lenong. Bagian Selatan meliputi
Jakarta Timur, Selatan, Bogor, dan Bekasi yang sangat dipengaruhi kuat
oleh kebudayaan Jawa dan Sunda. Sub dialeknya merubah ucapan
kata-kata yang memiliki akhir kata yang berhuruf a dengan ah, misal gua menjadi guah.
Penduduk Betawi:
Komunitas penduduk di Jawa (Pulau Nusa Jawa) yang berbahasa Melayu,
dikemudian hari disebut sebagai orang Betawi. Orang Betawi ini disebut
juga sebagai orang Melayu Jawa. Merupakan hasil percampuran antara
orang-orang Jawa, Melayu, Bali, Bugis, Makasar, Ambon, Manado, Timor,
Sunda, dan mardijkers (keturunan
Indo-Portugis) yang mulai menduduki kota pelabuhan Batavia sejak awal
abad ke-15. Di samping itu, juga merupakan percampuran darah
antara berbagai etnis: budak-budak Bali, serdadu Belanda dan serdadu
Eropa lainnya, pedagang Cina atau pedagang Arab, serdadu Bugis atau
serdadu Ambon, Kapten Melayu, prajurit Mataram, orang Sunda dan
orang Mestizo.
Sementara itu mengenai manusia Betawi
purbakala, adalah sebagaimana manusia pulau Jawa purba pada
umumnya, pada zaman perunggu manusia Betawi purba sudah mengenal
bercocok tanam. Mereka hidup berpindah-pindah dan selalu mencari tempat
hunian yang ada sumber airnya serta banyak terdapat pohon
buah-buahan. Mereka pun menamakan tempat tinggalnya sesuai dengan sifat
tanah yang didiaminya, misalnya nama tempat Bojong, artinya "tanah
pojok".
Dalam buku Jaarboek van Batavia
(Vries, 1927) disebutkan bahwa semula penduduk pribumi terdiri dari
suku Sunda tetapi lama kelamaan bercampur dengan suku-suku lain dari
Nusantara juga dari Eropa, Cina, Arab, dan Jepang. Keturunan mereka
disebut inlanders, yang bekerja pada orang Eropa dan Cina sebagai
pembantu rumah tangga, kusir, supir, pembantu kantor, atau opas.
Banyak yang merasa bangga kalau bekerja di pemerintahan meski gajinya
kecil. Lain-lainnya bekerja sebagai binatu, penjahit, pembuat sepatu dan
sandal, tukang kayu, kusir kereta sewaan, penjual buah dan kue, atau
berkeliling kota dengan "warung dorongnya". Sementara sebutan wong Melayu atau orang Melayu lebih merujuk kepada bahasa pergaulan (lingua franca)
yang dipergunakan seseorang, di samping nama "Melayu" sendiri memang
sudah menjadi sebutan bagi suku bangsa yang berdiam di Sumatra Timur,
Riau, Jambi dan Kalimantan Barat.
Posisi wanita Betawi di bidang
pendidikan, perkawinan, dan keterlibatan dalam angkatan kerja relatif
lebih rendah apabila dibandingkan dengan wanita lainnya di Jakarta dan
propinsi lainnya di Indonesia. Keterbatasan kesempatan wanita
Betawi dalam pendidikan disebabkan oleh kuatnya pandangan hidup tinggi
mengingat tugas wanita hanya mengurus rumah tangga atau ke dapur,
disamping keterbatasan kondisi ekonomi mereka. Situasi ini diperberat
lagi dengan adanya prinsip kawin umur muda masih dianggap penting,
bahkan lebih penting dari pendidikan. Tujuan Undang-Undang
Perkawinan untuk meningkatkan posisi wanita tidak banyak
memberikan hasii. Anak yang dilahirkan di Jakarta, tidak mempunyai
hubungan dengan tempat asal di luar wilayah bahasa Melayu, dan tidak
mempunyai hubungan kekerabatan atau adat istiadat dengan kelompok etnis
lain di Jakarta.
Mata pencaharian orang Betawi
dapat dibedakan antara yang berdiam di tengah kota dan yang tinggal di
pinggiran. Di daerah pinggiran sebagian besar adalah petani
buahbuahan, petani sawah dan pemelihara ikan. Namun makin lama areal
pertanian mereka makin menyempit, karena makin banyak yang dijual untuk
pembangunan perumahan, industri, dan lain-lain. Akhirnya para petani ini
pun mulai beralih pekerjaan menjadi buruh, pedagang, dan lain-lain.
Dalam sistem kekerabatan, pada
prinsipnya mereka mengikuti garis keturunan bilineal, artinya garis
keturunan pihak ayah atau pihak ibu. Adat menetap sesudah nikah sangat
tergantung pada perjanjian kedua pihak orang tua sebelum pernikahan
dilangsungkan. Ada pengantin baru yang menetap di lingkungan kerabat
suami (patrilokal) dan ada pula yang menetap di lingkungan kerabat istri
(matrilokal). Secara umum orang tua cenderung menyandarkan hari tuanya
pada anak perempuan. Mereka menganggap anak perempuan akan lebih telaten
mengurus orang tua dari pada menantu perempuan.
Tatanan sosial orang Betawi
lebih didasarkan pada senioritas umur, artinya orang muda menghormati
orang yang lebih tua. Hal ini dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari.
Apabila seseorang bertemu dengan orang lain, yang muda mencium tangan
orang yang lebih tua. Pada hari-hari Lebaran, orang yang didahulukan
adalah orang tua atau yang dituakan. Memang orang Betawi juga cukup
menghormati haji, orang kaya, orang berpangkat, asalkan mereka memang
"baik" dan bijaksana, atau memperhatikan kepentingan masyarakat.
Latar belakang jumlah penduduk
atau pendukung budaya Betawi, pada masa lalu maupun sekarang tidak
diketahui secara pasti. Catatan yang berasal dari tahun 1673 menunjukkan
bahwa jumlah penduduk (dalam tembok kota) Jakarta adalah 27.068 jiwa.
Jumlah ini terdiri atas orang "merdeka" dan "budak", yang banyaknya
hampir seimbang. Penduduk di luar tembok kota berjumlah 7.286 jiwa.
Mereka yang berada dalam tembok kota terdiri atas orang Mardijkers,
Cina, Belanda, Moor, Jawa, Bali, Peranakan Belanda, dan Melayu.
Golongan yang jumlahnya terbesar adalah Mardijkers (5.362 jiwa) dan yang
terkecil Melayu (611 jiwa). Menurut proyeksi lebih baru tentang jumlah
orang Betawi di Jakarta dan sekitarnya, jumlah orang Betawi pada tahun
1930 (menurut sensus) adalah 418.894 jiwa, dan pada tahun 1961 adalah
655.400 jiwa.
Kebudayaan Betawi:
Merupakan sebuah kebudayaan yang dihasilkan melalui percampuran antar
etnis dan suku bangsa, seperti Portugis, Arab, Cina, Belanda,
dan bangsa-bangsa lainnya. Dari benturan kepentingan yang
dilatarbelakangi oleh berbagai budaya. Kebudayaan Betawi mulai terbentuk
pada abad ke-17 dan abad ke-18 sebagai hasil proses asimilasi
penduduk Jakarta yang majemuk. Menurut Umar Kayam, kebudayaan Betawi ini
sosoknya mulai jelas pada abad ke-19. Yang dapat disaksikan, berkenaan
dengan budaya Betawi diantaranya bahasa logat Melayu Betawi, teater
(topeng Betawi, wayang kulit Betawi), musik (gambang kromong,
tanjidor, rebana), baju, upacara perkawinan dan arsitektur perumahan.
Berdasarkan pemakaian logat
bahasa, budaya Betawi dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu: 1)
Betawi Pesisir, termasuk Betawi Pulo; 2) Betawi Tengah/Kota; 3) Betawi
Pinggir; 4) Betawi Udik, daerah perbatasan dengan wilayah budaya
Sunda. Jika pemetaan budaya disusun berdasarkan intensitas transformasi
budaya Barat, maka terbagi menjadi tiga, yaitu: 1) Betawi Indo;
2) Betawi Tengah/Kota; 3) Betawi Pesisir, Pinggir, Udik.
Dalam kebudayaan Betawi terlihat
jelas pengaruh kebudayaan Portugis, terutama dalam bahasa. Rupanya
bahasa Portugis pernah mempunyai pengaruh yang berarti di kalangan
masyarakat penghuni Jakarta. Pengaruh Portugis terasa pula dalam
seni musik, tari-tarian, dan kesukaan akan pakaian hitam. Budaya
Portugis ini masuk melalui orang Moor (dari kata Portugis Mouro, artinya
"muslim"). Pengaruh Arab itu tampak dalam bahasa, kesenian dan tentunya
dalam budaya Islam umumnya. Budaya Cina terserap terutama dalam bentuk
bahasa, makanan dan kesenian. Dalam kesenian, pengaruh budaya Cina
tercermin, misalnya pada irama lagu, alat dan nama alat musik, seperti
kesenian Gambang Rancak. Pengaruh Belanda terasa antara lain dalam
mata pencaharian, pendidikan, dan lain-lain. Hingga saat ini, unsur
budaya asing lain dapat dirasakan di sana sini dalam budaya Betawi.
Kehadiran berbagai anggota suku bangsa
ditandai adanya nama-nama kampung atau tempat di Jakarta yang
menunjukkan asal mereka, misalnya ada Kampung Melayu, Kampung Bali,
Kampung Bugis, Kampung Makasar, Kampung Jawa, Kampung Ambon. Di antara
kelompok-kelompok etnik tersebut di atas, kelompok etnik Melayu
menempati kedudukan yang cukup penting, meskipun jumlah mereka relatif
sedikit dibandingkan oleh orang Bali, Bugis, Cina dan lain-lain.
Pengaruh Melayu menjadi penting karena peranan bahasanya.
Kebiasaan Hidup Masyarakat Betawi: Gambaran
beberapa kebiasaan hidup berkaitan dengan berkeluarga dan
rumah masyarakat Betawi, khususnya di daerah Jakarta Timur/Tenggara dan
lainnya. Khusus menyoroti berbagai etika yang harus dilaksanakan dalam
hubungan antara pria bujang dengan gadis penghuni rumah. Awalnya
laki-laki akan ngglancong bersama-sama kawannya, berkunjung ke
rumah calon istrinya untuk bercakap-cakap dan bergurau sampai pagi.
Hubungan tersebut tidak dilakukan secara langsung tetapi melalui jendela
bujang atau jendela Cina. Si laki-laki duduk atau tiduran di peluaran (ruang depan) sedangkan si perempuan ada di dalam rumah mengintip dari balik jendela bujang. Perempuan juga tidak boleh duduk di trampa (ambang
pintu). Ada kepereayaan "perawan dilamar urung, laki-laki
dipandang orang", yang artinya perempuan susah ketemu jodoh dan kalau
laki-laki bisa disangka berbuat jahat. Maksudnya, perempuan yang duduk
di atas trampa dianggap memamerkan diri dan dipandang tidak pantas. Sementara apabila laki-laki yang melanggar trampa dapat dianggap sebagai orang yang yang bermaksud jahat.
Muncul juga istilah ngebruk, yaitu apabila laki-laki berani melangkahi trampa rumah
(terutama rumah yang ada anak gadisnya) maka perjaka itu
diharuskan mengawini gadis yang tinggal di rumah tersebut. Karena kalau
tidak dikawinkan akan mendapat nama yang tidak baik dalam masyarakat.
Pengertian ngebruk juga disebut "nyerah diri", dalam arti si
laki-laki datang ke rumah perempuan yang ingin dinikahinya dengan
menyerahkan uang atau pakaian. Hal ini dilakukan jika belum ada
persetujuan terhadap hubungan itu atau karena kondisi keuangan yang
belum memenuhi syarat.
Sumber : http://www.jakarta.go.id
Belum lama ini benturan antar Ormas Betawi kembali terjadi lantaran sepetak
lahan. Realitas tersebut amat menyedihkan sekaligus menyakitkan. Realitas yang
tentunya amat melenceng dari visi misi Ormas Betawi tersebut yang ingin
mengangkat harkat martabat kaum Betawi dan bisa menjadi tuan rumah di kampung
halamannya sendiri.
Sebagai anak Betawi, saya sungguh tak habis pikir mengapa benturan di antara
Ormas Betawi kerapkali terjadi hanya karena persoalan sepele. Dan, sepertinya,
para pengurus ormas di tingkat pusat menganggap hal biasa bila terjadi gesekan
di antara anggota ormas mereka di bawah. Sehingga mereka tak pernah mencari
solusi dari setiap benturan yang muncul hingga di lain hari benturan itu
kembali terjadi.
Seharusnya, setidak-tidaknya menurut saya, begitu terjadi benturan para elit
dari masing-masing ormas duduk satu meja dan mencari solusi terbaik agar di
kemudian hari tidak lagi terjadi gesekan atau benturan hanya karena persoalan
lahan. Bukannya menutup mata pada kejadian yang pada dasarnya mencoreng nama
Betawi karena sama-sama orang Betawi kok bentrok melulu.
Sayangnya, upaya duduk satu meja itu sampai saat ini
belum kedengaran wacananya, meski yang namanya bentrokan sesama Ormas Betawi
kerap terjadi. Lebih disayangkan lagi, BAMUS Betawi selaku payung Ormas Betawi
pun tidak mengambil langkah strategis sebagai upaya meminimalisasikan gesekan
di antara Ormas Betawi yang berpayung di BAMUS Betawi.
Kita yang mendambakan eratnya ukhuwah di antara sesama anak Betawi, tentunya
berharap ke depan tak terdengar lagi berita tentang benturan sesama anak Betawi
yang berbeda bendera lantaran persoalan lahan yang ujung-ujungnya cuma jadi
tukang parkir dan tukang ngutip duit keamanan kepada pedagang yang mayoritas
hidupnya juga senin – kemis.
Karena tujuan kita aktif di Ormas Betawi menginginkan agar generasi muda
Betawi selaku penduduk inti Kota Jakarta dapat meningkatkan skill-nya
sehingga bisa bersaing secara sehat dengan saudara-saudara kita dari daerah
lain dalam segala bidang. Karena itu sebagai pengurus maupun anggota Ormas
Betawi kita dituntut konsisten dalam memperjuangkan kaum Betawi tanpa memandang
bendera.
Bendera boleh berbeda tetapi Betawi tetap satu. Satu-kesatuan yang akhirnya
mensinerjikan kekuatan kita dalam menjalankan sebuah gerakan besar mengangkat
harkat martabat kaum Betawi dengan menitik beratkan pada peningkatan SDM kaum
muda Betawi. Tentu, upaya besar ini membutuhkan pengorbanan dari para tokoh,
pejabat, politisi, budayawan, dan pengusaha Betawi untuk bersatu demi kemajuan
Betawi.
Jangan kaum Betawi cuma dijadikan ‘sisir’ yang dicari saat mau dipake dan
setelah dipake diletakin lagi secara sembarangan!
http://majalahbatavianews.wordpress.com
Dia berhasil jadi Ikon orang Betawi. Ada harga mahal yang harus dibayar: rumah tangganya berantakan.
SEBUAH pekarangan rumah di salah satu kampung di Kemayoran, Jakarta.
Seorang bocah enam tahun asyik bermain pada suatu siang tahun 1940-an.
Kulitnya legam, berbadan cebol dan tambun. Ia hanya bercelana kolor.
Tiba-tiba suara keluar dari mulut seorang kakek yang berada di
dekatnya. Si kakek minta tolong pada bocah itu, yang merupakan cucunya.
“Ben, beliin engkong tape,” kata si kakek.
Si bocah langsung menghampiri kakeknya, mengambil uang receh dan
menuju ke tempat tukang tape biasa mangkal. “Pekerjaan” itu sudah
menjadi kebiasaan bagi si bocah.
Tak lama kemudian, dia datang. Tapi kali ini prilakunya agak aneh.
“Kong, gak ada tapenya, Kong,” kata bocah cebol itu sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Lu goblok lu, masak gak ada. Orang jualan bererot (berderet) di situ,” jawab si kakek sembari sewot.
“Lagi gak dagang kali, Kong.”
“Enggak, tiap hari pada dagang di situ.”
Si kakek lalu memperhatikan cucunya dengan seksama. Matanya berhenti
pada tali celana kolor bocah. Si kakek langsung bertanya. “Itu apa yang lu gantung?”
“Tape.”
“Astagfirullah, lu kebangetan, makanan digantungin di
celana.” Si kakek gregetan. Tapi Haji Ung, nama kakek itu, akhirnya
cekikikan karena tak tahan melihat ulah jail cucunya itu.
Berpuluh-puluh tahun kemudian, si cucu masih tetap jail. Di suatu
pagi di studio radio miliknya, dia menelepon seorang teman di Bandung.
Dia mengajak bicara mengenai kebiasaan sehari-hari si teman. Temannya
lalu menceritakan aktivitas hariannya. Bahkan, hingga hal yang pribadi,
termasuk kebiasaan buruknya saat mandi. Percakapan berlangsung beberapa
menit. Sebelum menutup pembicaraan, Ben yang menelepon sambil
cengengesan berkata, “Lu tahu nggak saat ini gue lagi wawancarai lu, untuk radio gue, dan suara lu sekarang lagi on air.” Karuan temannya kelabakan dan mengomel, “Sialan!”
Begitulah Benyamin Suaeb, nama bocah dan pemilik radio tadi, seniman
besar Betawi. Ada-ada saja polahnya. Hidupnya selalu diwarnai
kejailan-kejailan “kreatif” yang segar. Kejailan-kejailan yang tak hanya
menghibur dirinya, tapi juga banyak orang yang mengetahui, mendengar
atau melihatnya.
Kejailan Ben, begitu dia biasa dipanggil, tidak menyusut ketika
kehidupannya sudah mapan, ketika namanya sebagai seniman besar sudah
bersinar. Keisengan itu pula yang turut memberi warna karya-karya
seninya, baik film maupun lagu.
LAHIR dengan nama Bunjamin Suaeb, di Jakarta pada 5 Maret 1939, Ben merupakan anak bontot
dari delapan bersaudara. Bapaknya, Suaeb, berdarah Jawa sedangkan
emaknya, Siti Aisyah, Betawi asli. Haji Ung, kakek Ben dari garis ibu,
merupakan tokoh terpandang di Kemayoran. Kabarnya, dia merupakan
keturunan Si Jago, seorang pendekar Betawi terkenal yang namanya
diabadikan sebagai nama tempat: Bendungan Jago.
Ben kecil mengalami masa sulit. Rintangan demi rintangan silih
berganti mendatangi. Kehidupan rumah tangga orangtuanya berantakan. Saat
Ben lahir, bapaknya punya dua istri. Puncak kesulitan keluarga orang
tua Ben terjadi pada 1941, ketika Suaeb meninggal di Belitung. Aisyah
ibu Ben harus memikul beban keluarga seorang diri dengan jalan membuka
usaha jahit.
Sejak kecil bakat seni Ben telah terlihat. Meski bersuara cadel, Ben
mampu menirukan lagu-lagu orang dewasa dan menghibur tetangganya.
“Biasanya, sambil bernyanyi dia menggoyang-goyangkan pantatnya,” tulis
Ludhy. Biasanya, ibu-ibu yang gemas pada Ben menanggapnya untuk “mentas”
di rumah mereka masing-masing. Sebagai imbalannya Ben dapat “honor” kue
kering, bolu, atau uang. “Aku sih patuh aja. Selesai menyanyi dapat
duit segobang. Akhirnya aku jadi kesenangan dan ketagihan,” kenang Ben.
Bakat nyanyi itu makin terasah karena kakak-kakaknya mendukung. Bersama-sama, mereka kerap memainkan lagu-lagu Melayu, seperti Bajang-Bajang Bertali Sutra dan Pengantin Baru. Untuk lagu pembuka, mereka biasa memainkan lagu Belanda.
SAAT usinya tujuh tahun Ben sekolah di sekolah rakyat di Bendungan
Jago. Dia bukan termasuk anak pintar. Abangnya, M. Noer, yang paling
sabar mengajari Ben di rumah pun sampai kesal lantaran Ben tidak kunjung
bisa memahami pelajaran sekolahnya. Ben kemudian sempat melewati masa
sekolah di Bandung bersama bersama abangnya., Saidi. Di kota itu pula
kelak ia bertemu dengan saudara tirinya, Adung Saleh.
Mereka bersekolah di sekolah rakyat Santo Yusuf, Bandung. Ben dan
Saidi menumpang di rumah Otto Soeprapto, abang mereka yang bekerja
sebagai pegawai kereta api di Bandung. Otto sangat keras dan disiplin,
membuat Ben dan Saidi “kaget”. “Bayangin saja, dari tidak disiplin di
Kemayoran menjadi disiplin, wah rasanya kayak dihukum,” kenang Ben.
Ben dan Saidi tak lama tinggal di Bandung. Selepas tamat sekolah
rakyat mereka memilih melanjutkan studi di Jakarta. Ben lalu masuk
sekolah lanjutan Perguruan Sosial Indonesia (PEPSI) di Cikini. Di situ
dia sangat tekun. Meski harus berjalan kaki dua jam untuk bisa mencapai
sekolahnya, Ben tidak pernah mengeluh, tidak pernah membolos. “Saban
hari dia pulang sekitar pukul 20.00. Pergi berkeringat, pulang berpeluh
sudah jadi hal yang biasa,” tulis Ludhy. Lantaran kasihan melihat Ben,
abangnya Moenadji lalu membelikan sepeda BSA dengan cara mencicil. Ben
bersekolah di PEPSI hingga 1955.
Ben kemudian melanjutkan sekolah ke SMA Taman Siswa Kemayoran.
Konyol, jail, tengil, suka berantem, dan pandai menghibur tetap jadi
ciri Ben di sekolah itu. Meski nakal, dia tetap bertanggung jawab dan
solider. Syumanjaya, kelak menjadi sutradara terkenal, dan Misbach Yusa
Biran, penulis skenario terkenal satu almamater dengan Ben. Pelawak
Ateng Soeripto merupakan salah seorang “kroco” yang paling dekat dengan
Ben saat itu. Mereka sama-sama satu sekolah meski beda tingkatan: Ben
SMA Ateng SMP.
Sebenarnya Ben bercita-cita jadi pilot. Semua surat yang diperlukan
untuk menjadi pilot sempat dia urus. Tapi, cita-cita itu urung dia
perjuangkan lantaran Mak Aisyah takut. “Nggak usah aje ye, gue takut elu jatoh,” kata Mak Aisyah saat itu.
Ben lalu kuliah di Akademi Manajemen Sawerigading. Tapi, hanya sampai semester dua. Sambil kuliah Ben juga ngamen
di beberapa klab malam. Saat senggang, dia tetap main bola. Hobi main
bolanya ini pula yang mengantarkannya pada nasib menjadi pegawai PPD.
“Awalnya ingin menjadi tenaga administrasi, tapi tak tahu kenapa malah
menjadi kernet,” ujar Ben, mengenang. Ben jadi kernet bus yang melayani
trayek Lapangan Banteng-Pasar Rumput.
Pada masa itu pulalah Ben jatuh cinta kepada seorang gadis yang
tinggal tak jauh dari rumahnya. Noni, nama gadis itu, tinggal bersama
ibu dan ayah angkatnya serta ketiga saudara tiri. Mereka tinggal di
rumah kontrakan milik Cing Lale, ade Mak Aisyah. Ben dan Noni pacaran secara backstreet. Walaupun awalnya tak direstui orang tua Noni, akhirnya Ben dan Noni menikah pada 2 Oktober 1959.
Pada 1960, anak pertama pasangan Ben dan Noni lahir. Bayi itu dinamai
Beib Habani Benyamin. Tak lama setelah anak pertama lahir Ben pindah
kerja ke PN. Kriya Yasa, pabrik asbes semen. Di perusahaan itu karir Ben
mulai menanjak, ekonomi keluarganya pun beranjak membaik. Selain
mendapatkan rumah dinas di Kemayoran dan sepeda motor, Ben juga mampu
membeli rumah sederhana di Gang Bugis. Dari pernikahannya dengan Noni,
Ben dikaruniai lima anak: Beib Habani Benyamin, Bob Benito Benyamin,
Biem Triany Benyamin, Beno Rachmat Benyamin, dan Benny Pandawa Benyamin.
Tapi Ben pernah kena apes. Di tengah-tengah puncak kariernya, pabrik
tempatnya bekerja bangkrut. Ben kena PHK. Masa sulit pun kembali
menghampiri Ben dan keluarganya. Ben terpaksa hanya mengandalkan
pemasukan dari ngamen sementara Noni berjualan pisang goreng keliling kampung.
Tapi mujur kembali berpihak padanya. Karier sebagai pelawak,
penyanyi, dan pemain film perlahan menanjak setelah lagu pertamanya
diterima oleh Bing Slamet. Sejak saat itu Ben mulai dikenal sebagai ikon
Betawi.
Kesuksesan Ben tak seiring dengan keharmonisan rumah tangganya.
Akibat kesibukan, waktu Ben untuk keluarga makin minim. Dia juga mulai
sering ribut dengan istrinya. Akhirnya, Ben dan Noni bercerai meski
sempat rujuk sebentar. Kabarnya, Noni cemburu kepada Ida Royani.
Pernikahannya pun berantakan. Kabarnya Noni cemburu pada Ida Royani,
pasangan duet Ben. Konon Ben demen pada Ida, tapi gayung tak bersambut. Ida tak menaruh hati pada Ben yang sudah punya anak istri.
Ben yang sudah “melajang” itu pun kembali mencari jodoh. Kali ini
atas bantuan Bu Royani, ibu Ida Royani, Ben menemukan jodoh: Alfiah,
seorang gadis asal Kediri. Ben lalu meminang Alfiah, yang saat dinikahi
Ben usianya masih 17 tahun. Dari pernikahannya itu Ben dikaruniai empat
anak: Bayi Nurhayati, Billy Sabila Benyamin, Bianca Belladina, dan
Belinda Sahadati Amri. Kehadiran Alfiah –dan kemudian empat anaknya–
membuat semangat Ben untuk melepaskan diri dari cengekeraman “kegelapan”
kembali naik. Dan, Ben pun berhasil melewati masa-masa suramnya yang
kedua itu hingga sang maut datang menjemput pada 1995.
Kepergian Ben membuat banyak orang kehilangan. Tak hanya keluarga
maupun orang terdekatnya, tapi juga jutaan penggemarnya. Yang pasti,
dunia seni pertunjukan Indonesia telah kehilangan salah satu putra
terbaiknya. Putra yang, menurut Didi Petet, sukses mengerjakan tiga
profesi sekaligus: penyanyi, pelawak, dan pemain film.
Source : http://www.historia.co.id/?d=861
http://sikumbangtenabang.com
Dia berhasil jadi Ikon orang Betawi. Ada harga mahal yang harus dibayar: rumah tangganya berantakan.
Jakarta : Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi)
mencopot Walikota Jakarta Selatan, Anas Efendi dan dipindahtugaskan
menjadi Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah. Wakil Gubernur DKI
Jakarta, Basuki T Purnama (Ahok) pun punya alasan tersendiri kenapa Anas
dipindahtugaskan.
Awalnya, Ahok tidak mau menjawab secara jelas
alasan dirinya dan Jokowi mengganti Anas yang telah menjabat sebagai
Walikota tidak lebih dari 1,5 tahun tersebut. "Alasannya, coba tanya Pak
Sekda deh, dia yang lebih tahu," ujar Basuki di Balai Kota DKI Jakarta,
Jumat (15/2/2013).
Dengan dirotasinya Anas sebagai Kepala
Perpustakaan dan Arsip Daerah, maka jabatan Walikota akan diserahkan
kepada wakil Walikota Jakarta Selatan yang mendampingi Anas selama ini
yaitu Syamsudin Noor. Ahok pun berkelakar naiknya rotasi tersebut
dilakukan lantaran Syamsudin yang berpostur tubuh kurus ini mirip dengan
Jokowi.
"Saya enggak tahu, alasannya mungkin wakilnya lebih mirip
Pak Jokowi kali. Coba lihat tampangnya Pak Anas dan pak Syamsudin, mana
yang lebih mendekati potongan pak jokowi," ujar Ahok sambil tertawa.
Apakah
dengan begitu, perawakan kurus seperti Jokowi akan menjadi syarat bagi
pejabat baru yang akan di lantik? Ahok pun kembali menanggapi sambil
berkelakar.
sumber : http://news.liputan6.com
Sekretaris Kota Adminitrasi Jakarta Selatan
Usmayadi mengatakan, dimutasinya Walikota Jakarta Selatan, Anas Effendy
menjadi Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah itu bisa dikatakan
mendadak. Pasalnya, mutasi itu baru beritatahukan kepadanya pada Rabu
(13/2/13) malam, sedangkan Kamis (14/2/13) Anas dilantik, meskipun Anas
tidak menghadiri pelantikannya.
“Sebenarnya Rabu malam itu dia
baru diberitahu, dia kaget karena mendadak. Beliau juga tidak tahu mau
dimutasi,” kata Usmayadi dikantornya, Jumat (15/2/13).
Baca juga: Gubernur Jokowi Bantah Copot Kepala Satpol PP, Ganti Pejabat Perempuan dan Ketika Jokowi Main Futsal
Lebih
lanjut Usmayadi menuturkan, saat ini belum ada penggantinya, karena
harus menunggu kepastian dari Pemprov DKI Jakarta untuk mengisi jabatan
ini. Tetapi, kita tetap bisa bekerja karena itu sudah sistem.
“Tentunya
Pemprov akan menentukan calon pelaksana tugas atau pelaksana harian
Walikota, entah itu dari provinsi. Biasanya dijabat asisten atau wakil.
Meski jabatan Walikota tidak ada,” ujarnya.
Seperti diketahui,
kemarin Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo melakukan mutasi terhadap
beberapa pejabat di lingkungan pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Diantaranya adalah Walikota Jakarta Selatan Anas Effendi yang dimutasi
menjadi Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah.
Siang kemarin
seharusnya Anas dilantik untuk menempati pos barunya, namun ternyata
yang bersangkutan mangkir dan tidak hadir pada saat upacara pelantikan.
Jokowi
sendiri mengatakan, akan mengganti pejabat pemerintahan di lingkungan
Pemprov DKI Jakarta yang tidak mampu mengikuti pola kerja yang
diterapkan mantan walikota Solo itu.
Gubernur DKI Jakarta Jokowi
menolak jika alasan pemindahan Anas adalah karena kinerjanya dianggap
buruk, tetapi dimutasi karena memang jabatan Kepala Perpustakaan dan
Arsip Daerah memang sedang kosong sehingga walikota yang dilantik pada
November tahun 2011 lalu itu ditugasi untuk mengisi posisi itu.
“Ya karena di perpustakaannya kosong. Kan yang di arsip sudah pensiun,” ujar Jokowi.@hermawan
sumber :http://www.lensaindonesia.com
JAKARTA—Ketua Umum Forum Pemuda Betawi (FPB) Rachmat HS siap
memelopori perubahan paradigma dalam Badan Musyawarah (Bamus) Betawi.
Pimpinan ormas yang masih dalam naungan Bamus Betawi itu menegaskan
bahwa saat ini diperlukan orang-orang muda visioner untuk menahkodai
wadah berhimpunnya 100-an ormas kebetawian tersebut.
“Bamus Betawi harus jadi rumah besar warga Betawi. Bamus harus diisi
orang-orang muda yang visioner dan trackrecordnya jelas. Kedepan bamus
harus jadi tempat ide dan gagasan,” kata Rachmat HS usai diskusi panel
dengan tema masyarakat Betawi bebenah, di gedung Juang, Jakpus kemarin.
Menurut Rachmat, pasca pilkada DKI lalu, semangat warga Betawi agak
drop. Jadi perlu dirajut kembali semangatnya agar tetap eksis.
“Diskusi panel ini merupakan momentum membangun spirit moral kepada
masyarakat betawi yg tergabung dalam Bamus Betawi. Apalagi, jelang Mubes
Betawi 11 Januari mendatang, diskusi ini menjadi sangat penting. Ini
ajang urun rembug dari tokoh-tokoh Betawi,” katanya.
Dikatakan, saat ini warga Betawi harus bangkit, semangatnya harus
ditata ulang. “Harus digabungkan kembali menjadi satu kekuatan. Warga
Betawi harus eksis di kampungnya sendiri. Eksistensi warga Betawi tidak
boleh luntur, siapapun gubernurnya,” jelas Rahmat HS.
Hadir dalam diskusi tersebut sejumlah tokoh betawi. Antara lain ketum
Bamus Betawi Nachrowi Ramli, anggota DPRD DKI Zainuddin alias bang
Oding, sesepuh Betawi Amarullah Asbah, Effendy Yusuf, Husein Sani, serta
mantan Sekjen Bamus betawi Bachrullah Akbar.
“Hadirnya tokoh betawi dalam diskusi ini menunjukkan bahwa semua
peduli terhadap betawi. FPB akan jadi pelopor dalam perubahan tersebut,”
tegasnya.
Rachmat menegaskan dirinya hanya akan menjadi perekat bagi kemajuan dan kesejahteraan Bamus Betawi.
Nachrowi Ramli sendiri sangat mengapresiasi acara tersebut. “Kita
ingin Bamus tidak tidur. Bamus tetap harus eksis. Karena siapapun
gubernurnya, warga betawi merupakan penduduk inti kota Jakarta,” tegas
pria pada pilkada lalu mencalonkan diri sebagai wagub bersama Fauzi Bowo
sebagai gubernurnya.
sumber : http://www.harianterbit.com
Editor — Maghfur Ghazali
JAKARTA : Musyawarah Besar (Mubes) ke-6 Badan Musyawarah (Bamus)
Betawi berkeinginan menjadi organisasi masyarakat (ormas) tingkat
nasional. Alasannya, saat ini sebanyak 114 ormas Betawi sudah berkembang
pesat di 20 provinsi, berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS)
pada Desember 2012.
sumber : http://www.suarakarya-online.com